Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena ternyata Kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan Kloramfenikol meluas dengan cepat sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa Kloramfenikol dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal.
- Efek antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman.
Efek toksis Kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik/darah dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja Kloramfenikol.
- Efek samping
- Reaksi hematologik
Terdapat dalam 2 bentuk yaitu;
- Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
Kelainan ini berhubungan dengan dosis, menjadi sembuh dan pulih bila pengobatan dihentikan. Reaksi ini terlihat bila kadar Kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml. - Bentuk yang kedua bentuknya lebih buruk karena anemia yang terjadi bersifat menetap seperti anemia aplastik dengan pansitopenia. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Efek samping ini diduga disebabkan oleh adanya kelainan genetik.
- Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
- Reaksi alergi
Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam Tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
- Reaksi saluran cerna
Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
- Sindrom gray
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kg BB) dapat timul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke 9 masa terapi, rata-rata hari ke 4.
Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusui, pernafasan cepat dan tidak teratur, perutkembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat.
Pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi pula hipotermia (kedinginan).
- Reaksi neurologik
Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
- Reaksi hematologik
- Penggunaan klinik
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae. Infeksi lain sebaiknya tidak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif.
Kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk bayi baru lahir, pasien dengan gangguan hati dan pasien yang hipersensitif terhadapnya.
- Sediaan
- Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
- Kapsul 250 mg,
Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau 1-2 kapsul 4 kali sehari.
Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis.
- Salep mata 1 %
- Obat tetes mata 0,5 %
- Salep kulit 2 %
- Obat tetes telinga 1-5 %
Keempat sediaan di atas dipakai beberapa kali sehari.
- Kapsul 250 mg,
- Kloramfenikol palmitat atau stearat
Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol). Dosis ditentukan oleh dokter.
- Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan 10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100 mg/ml).
- Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
- Kapsul 250 dan 500 mg.
- Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Ttiamfenikol 1.5 g yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg Tiamfenikol tiap 5 ml.
- Kloramfenikol
Untuk pemilihan antibiotika Kloramfenikol dan dosis/cara pakainya yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.
No comments:
Post a Comment