Demam berdarah, siapa tak bergidik membayangkannya? Penyakit musim hujan ini menjadi momok buat ratusan ribu orang setiap tahunnya. Eiit!!! Jangan terpaku hanya pada kehebatannya menebar wabah. Mengenal sang penyakit jauh lebih penting. Kecuali, Anda rela menjadi korbannya.
Demam berdarah, persisnya Demam Berdarah Dengue (DBD), memang memiliki “reputasi” sangat baik dalam menyengsarakan umat manusia. Di Indonesia, sekali mewabah ia bisa menelan jiwa ratusan orang dan merumahsakitkan ratusan ribu orang, bahkan jutaan lainnya. Setahun belakangan, tingkat kematian (case fatality rate/CFR) akibat DBD sudah menembus 1% dari jumlah kasus yang dilaporkan.
Ibu-ibu yang anaknya banyak beraktifitas di luar rumah pun dibuat cemas. Badan panas sedikit, apa pun penyebabnya, pikiran langsung melayang ke DBD. Kecemasan kian menjadi, karena dalam hitungan hari, bahkan ada yang dalam hitungan jam, kondisi penderita bisa langsung kritis. Jika tidak ditangani secara benar, atau terlambat mendapat pertolongan, acap kali nyawa sulit bisa diselamatkan.
Repotnya, dokter ahli sekalipun (apalagi awam), kadang sulit mendeteksi DBD lebih dini. Hampir semua infeksi penyakit akut pada awal serangannya menyerupai gejala mula DBD. Ciri khas DBD, seperti perdarahan kulit dan tanda perdarahan lainnya, sering muncul hanya di akhir periode penyakit. Jadi, tidak ada ruginya kalau tahu perjalanan klinis DBD.
Tiga Reaksi
Melihat silsilah keluarganya, virus dengue penyebab DBD termasuk anggota famili flaviviridae. Keberadaannya tak bisa diteropong lewat mata telanjang, karena ukurannya sangat renik, hanya sekitar 35 – 45 nanometer. Mereka menyerang tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah gigitan maut itu, tercipta “masa tenang nan menghanyutkan” selama sekitar empat hari, saat virus dengue berkembang secara cepat di dalam tubuh.
Ketika merasa jumlah pasukannya lebih dari cukup, barulah mereka meningkatkan serangan dengan memasuki sirkulasi darah viraemia. Pada saat itu tubuh penderita langsung terinfeksi dan mengalami gejala panas. Mendapat serangan mahluk asing, tubuh pun mengadakan perlawanan dengan menunjukkan reaksi tertentu. Bentuk reaksi ini berbeda dari satu orang dengan orang lainnya. Perbedaan yang kelak menyebabkan tak samanya penampilan gejala klinis dan perjalanan DBD di fase selanjutnya.
Namun prinsipnya, bentuk reaksi tubuh terhadap keberadaan virus dengue berlangsung melalui beberapa tahap. Reaksi pertama berupa netralisasi virus, disusul pengendapan hasil netralisasi itu pada pembuluh darah kecil di kulit, berupa gejala ruam. Reaksi kedua, gangguan fungsi pembekuan darah akibat penurunan jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah, yang selanjutnya dapat menimbulkan perdarahan.
Sementara reaksi ketiga, terjadi kebocoran pada pembuluh darah, menyebabkan keluarnya komponen plasma (cairan darah) dari dalam pembuluh darah menuju rongga perut. Apabila badan hanya memberi reaksi bentuk pertama dan kedua saja, maka penderita hanya akan menderita demam dengue. Tapi jika ketiga bentuk reaksi itu muncul, berhati-hatilah, DBD sedang mengincar.
Perdarahan Tak Spontan
Meski sama-sama disebabkan virus dengue, demam dengue dan DBD ibarat dua anak kembar yang lama dipisahkan kedua orangtuanya, sehingga memiliki karakter berbeda. Tak heran kalau manifestasi klinisnya pun beda. Demam dengue tidak terlalu membahayakan atau mengancam jiwa seperti DBD. Demam ini oleh awam kerap disebut “gejala” demam berdarah, ditandai gejala klinis berupa demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan.
Serangan demamnya dapat muncul mendadak, mencapai suhu 39 – 40 oC. Kalau yang terserang anak-anak, mereka akan enggan bermain seperti biasanya. Demam ini biasanya berlangsung hanya sekitar
Gejala panas pada penderita demam dengue juga diiringi keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang dikeluhkan berupa nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung dan nyeri pada bola mata. Keluhan makin meningkat apabila organ-organ itu digerakkan. Nyeri inilah oleh awam disebut “flu tulang”, karena merata menyerang seluruh tubuh dan hilang bersamaan dengan tuntasnya demam.
Sedangkan ruam timbul pada saat awal panas, bentuknya menyerupai tanda kemerahan pada daerah muka, leher dan dada. Ruam dapat juga muncul pada hari keempat sakit, berupa bercak-bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang, ruam timbul hanya pada daerah tangan atau kaki, berbentuk spesifik seperti kaus tangan dan kaki. Bentuk terakhir ini lazimnya timbul setelah panas turun di hari kelima.
Seperti DBD, demam dengue juga disertai perdarahan, tapi tidak selalu berupa perdarahan spontan. Bahkan pada sebagian besar penderita, perdarahan baru muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk perdarahan spontan yang mungkin terjadi umumnya berupa perdarahan kecil (petechiae) dan agak besar di kulit (echimosis), perdarahan gusi atau hidung, dan kadang perdarahan massif yang berakhir dengan kematian.
Pada anak-anak tertentu, munculnya panas selalu disertai perdarahan hidung (epistaksis). Dalam dunia medis, “kebiasaan” ini dikenal sebagai habitual epistaksis, terjadi akibat kelainan bersifat sementara dari gangguan berbagai infeksi (tidak harus karena virus dengue).
Tak
Bagaimana dengan DBD? Bentuk reaksi pertama dan keduanya sama persis dengan demam dengue. Yang membedakan dua “anak kembar” ini bentuk reaksi ketiganya. Pada DBD, manifestasi gejala klinis reaksi ketiga lebih gawat, berupa keluarnya plasma darah dari dalam pembuluh darah, kemudian masuk ke dalam rongga perut dan rongga selaput paru-paru.
Jika tidak segera ditanggulangi, aksi dengue dapat menyebabkan perdarahan yang sangat massif. Perdarahan inilah yang sering memaksa dokter memberikan transfusi darah dalam jumlah tidak terbayangkan. Itu sebabnya penting diketahui, kapan seorang penderita DBD mulai mengalami keluarnya plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah. Berdasarkan pengalaman, keluarnya plasma darah ini (apabila ada), biasanya terjadi pada sakit hari ketiga sampai keempat.
Jangan keburu senang jika suhu badan pasien berangsur dingin, tapi kondisinya tetap loyo. Denyut nadi kecil, tapi cepat. Pada perabaan, ujung-ujung tangan atau kaki anak terasa dingin. Orang tua yang tidak mengerti, pasti menyangka suhu tubuh anaknya telah kembali normal, bahkan dianggap sembuh, sehingga lalai membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat. Padahal, yang terjadi justru sebaliknya. Penderita ditahap ini kadang sudah terlalu terlambat untuk diselamatkan.
Untuk menunjang diagnosis DBD, lazimnya dilakukan pemeriksaan laboratorium. Hasilnya akan menggambarkan terjadinya peningkatan kadar haemoglobin (Hb) dan peningkatan hematokrit (HCT), disertai penurunan trombosit hingga kurang dari 15.000. Perubahan ini biasanya baru terjadi dan terdeteksi pada demam hari ketiga sampai kelima. Itu sebabnya, dokter sering menolak memeriksa darah pasien pada demam hari pertama atau kedua. Percuma, hasilnya pasti normal.
Dalam perjalanan selanjutnya, jumlah trombosit akan terus turun, mulai hari ketiga, keempat dan kelima. Pada hari keenam dan selanjutnya, jumlah trobosit berbalik meningkat, sampai akhirnya kembali ke posisi normal.
Titik balik pada hari keenam inilah yang sering disangka banyak orang sebagai “pengaruh positif” pemberian jambu biji. Pada hari keenam itu, jumlah trombosit memang sudah di atas 15.000. Bila tidak disertai koplikasi dengan penyakit lain, penderita biasanya diperbolehkan pulang.
Pemeriksaan penunjang lain yang sering dilakukan di laboratorium adalah tes Imunoglobulin G (IgG), Imunoglobulin M (IgM) dan tes Widal. Tes Widal ini untuk identifikasi antibodi tubuh terhadap penyakit demam typhoid (tifus). Tes Widal sebaiknya dilakukan menjelang akhir minggu pertama panas atau awal minggu kedua panas. Jika dilaksanakan pada masa awal datangnya demam, dikhawatirkan tak mendapat hasil maksimal.
Meski dikenal sebagai demam ganas, ironisnya, secara medis tidak ada pengobatan khusus yang dapat diberikan untuk melawan DBD. Penyakit ini bersifat self limiting disease atau penyakit yang dapat sembuh sendiri. Prinsip pengobatannya secara umum “hanyalah” memberikan cairan elektrolit khususnya natrium dan glukosa.
Asupan berupa minuman yang mengandung cairan elektrolit dan glukosa, seperti air sari buah atau minuman lain yang manis, juga dapat membantu mengatasi kekurangan cairan pada penderita. Bagaimana dengan pemberian jambu biji?
Kabar manfaat jambu biji untuk peningkatan trobosit sampai saat ini masih simpang siur. Sebab, belum ada penelitian secar klinis yang membuktikan kebenarannya.
Jadi, senjata paling ampuh untuk melawan DBD (untuk sementara) masih terletak pada luasnya pengetahuan pasien dan orang-orang terdekatnya. Bermodal pengetahuan itu, mereka tahu kapan saatnya bertindak. Cepat, tepat, dan akurat.
Oleh dr. Widodo Judarwanto Sp.A., di
Intisari edisi Jan 2005