Tuberkulosis adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh basil mikobakterium tuberkulosis. Jalan masuk kedalam tubuh biasanya melalui inhalasi, atau yang pada umumnya adalah dengan meminum susu sapi yang tidak dipasteurisasi.
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga saat ini (7).
Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama di negara yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun sejalan dengan menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu disebabkan oleh kian membaiknya keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu masih terdapat sekarang telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis kutis papulonekrotika, tuberkulosis kutis gumosa, dan eritema nodusum (1).
FAKTOR PREDISPOSISI Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi (1,2). Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan, meskipun jarang (1). Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status imunodefisiensi (2).
ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat patogen terhadap manusia: M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa juga disebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG) (5). Penyebab utama tuberkulosis kutis di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%, sisanya (8,5%) disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen, yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain (1).
BAKTERIOLOGI
Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37ºC (1).
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam (1):
1. Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya M. leprae.
2. Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37º. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.
3. Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 2 bulan.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif berarti jenis human.
5. Percobaan resistensi
KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1). Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1).
1. Tuberkulosis kutis sejati
a. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
b. Tuberkulosis kutis sekunder
Tuberkulosis kutis miliaris, Skrofuloderma, Tuberkulosis kutis verukosa, Tuberkulosis kutis gumosa, Tuberkulosis kutis orifisialis, Lupus vulgaris.
2. Tuberkulid
a. Bentuk papul
Lupus miliaris diseminatus fasiei, Tuberkuloid papulonekrotika, Liken skrofulosorum.
b. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
Eritema nodusum, Eritema induratum.
PATOGENESIS
Cara infeksi ada 6 macam (1)
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
MANIFESTASI KLINIS
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis telah dan masih menjadi masalah kesehatan di dunia hingga saat ini (7).
Tuberkulosis kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama di negara yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun sejalan dengan menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu disebabkan oleh kian membaiknya keadaan ekonomi. Bentuk-bentuk yang dahulu masih terdapat sekarang telah jarang terlihat, misalnya tuberkulosis kutis papulonekrotika, tuberkulosis kutis gumosa, dan eritema nodusum (1).
FAKTOR PREDISPOSISI Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi (1,2). Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma merupakan bentuk yang tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan, meskipun jarang (1). Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status imunodefisiensi (2).
ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat patogen terhadap manusia: M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa juga disebabkan oleh Bacillus Calmette-Guerin (BCG) (5). Penyebab utama tuberkulosis kutis di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%, sisanya (8,5%) disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen, yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain (1).
BAKTERIOLOGI
Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu optimal pertumbuhan pada 37ºC (1).
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam (1):
1. Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya M. leprae.
2. Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37º. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.
3. Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 2 bulan.
4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif berarti jenis human.
5. Percobaan resistensi
KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1). Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY dengan sedikit perubahan (1).
1. Tuberkulosis kutis sejati
a. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
b. Tuberkulosis kutis sekunder
Tuberkulosis kutis miliaris, Skrofuloderma, Tuberkulosis kutis verukosa, Tuberkulosis kutis gumosa, Tuberkulosis kutis orifisialis, Lupus vulgaris.
2. Tuberkulid
a. Bentuk papul
Lupus miliaris diseminatus fasiei, Tuberkuloid papulonekrotika, Liken skrofulosorum.
b. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
Eritema nodusum, Eritema induratum.
PATOGENESIS
Cara infeksi ada 6 macam (1)
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
MANIFESTASI KLINIS
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil tuberkel adalah paru-paru (6), luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk (4). Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding tergaung dan disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi positif. Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya. Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan dengan limphadenopaty regional (6). Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang mudah terkena trauma (2,4).
2. Tuberkulosis kutis miliaris
Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak (6) dengan status imunokompromise (2). Fokus infeksi terdapat secara khusus pada paru-paru atau selaput otak (2). Terjadi karena penjalaran ke kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul, vesikel, pustul, skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada umumnya prognosisnya buruk (1,5).
3. Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis murni sekunder yang terjadi secara pekontinuitatum dari jaringan di bawahnya, misalnya kelenjar getah bening, otot dan tulang (3). Skrofuloderma terjadi terutama pada anak-anak (2) dan dewasa muda pada bagian kulit yang berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan tulangnya (6). Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan. Dimulai dengan infeksi sebuah kelenjar yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi periadenitis. Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga membentuk suatu kantong kelenjar “klier packet”. Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, mencari jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar, membentuk ulkus yang mempunyai sifat-sifat khas (3).
4. Tuberkulosis kutis verukosa
Tipe ini terjadi terutama pada orang dewasa, anak-anak dan individu yang resisten terhadap terjadinya inokulasi eksternal basil tuberkel (3,6). Infeksi terjadi secara eksogen, jadi kuman masuk ke dalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya pada tungkai bawah dan kaki, tempat yang lebih sering mendapat trauma (1,3,4). Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks (1,3).
5. Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian melunak dan bersifat destruktif (1). Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan (5). Lesi tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-kadang vesikuler dan terdapat krusta (5).
6. Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada organ-organ dalam (2). Sesuai dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar anus. Pada tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra eksternum. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid (1,5).
7. Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada bagian yang sering terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas (6). Cara infeksi dapat secara endogen atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada penekanan (apple jelly colour) (1,4,5). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi ulkus. Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka tulang rawan hidung dapat mengalami kerusakan (1,5). Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan di suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat ke perifer atau serpiginosa (1).
8. Lupus milliaris diseminatus fasiel
Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris (1).
9. Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita TB pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi terhadap basil tuberkel. Basil menyebar secara hematogen pada orang dengan satus imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam keadaan sehat (6). Selain berbentuk papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan badan (1,4). Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul secara bergelombag, membesar perlahan-lahan dan kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama penyakit dapat bertahun-tahun (1).
10. Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus (1,6). Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan daerah sacrum. Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak meninggalkan sikatriks (1).
11. Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat memberi gambaran klinis sebagai E.N., yang sering: lepra sebagai eritema nodusum leprosum, reaksi id karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat secara sistemik, dan demam reumatik (1).
12. Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai nekrosis lemak (4,6). Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen. Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif (1).
DIAGNOSIS BANDING
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Sindrom Chancriform yaitu syphilis primer dengan disertai chancre, penyakit cat-scratch, sporotrichosis, tularemia, infeksi M. marinum (5).
2. Tuberkulosis kutis verukosa
Kromomikosis, nevus verukosa, dan frambusis stadium II, veruka vulgaris, infeksi M. marinum, pyoderma, chromomycosis, bromoderma, lichen planus hipertrofik, dermatosis aktinik hipertropik (3,5).
3. Lupus Vulgaris
Sarkoidosis, lymphocytoma, lymphoma, lupus eritematosus kutaneus kronik, syphilis tersier, leprosy, blastomycosis, leismaniasis lupoid dan pioderma (5).
4. Scrofuloderma
Aktinomikosis, hidradenitis supurativa, limfopatia venereum, infeksi jamur invasive, sporothrikosis, nocardiosis, actinomicosis, syphilis tersier, acne conglobata (3,5).
5. Tuberkulosis kutis gumosa
Pannikulitis, infeksi jamur infasive, hidradenitis, syphilis tersier.
6. Tuberkulosis kutis orifisialis
Ulkus aphthous, histoplasmosis, syphilis.
PENGOBATAN
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH (H) disertakan, diantaranya karena obat tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki (1).
Pemilihan obat tergantung pada:
- keadaan ekonomi penderita,
- berat-ringannya penyakit, dan
- adakah kontraindikasi.
Dosis
INH (H)
anak 10 mg/Kg BB,
dewasa 5mg/Kg BB,
dosis maksimum 400 mg sehari.
Rifampisin (R)
10 mg/kg BB paling lama diberikan 9 bulan.
Pirazinamid (Z)
25 mg/kg BB
Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar.
Streptomisin (S)
15 mg/kg BB
dosis maksimun streptomisin 90 gram.
Ethambutol (E)
15 mg/kg BB
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal (intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman yang tumbuh lambat (1).
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH (H) , Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin (S) tidak boleh diberikan (9).
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH (H) 5 mg/kgBB, Rifampisin (R) 10 mg/kgBB, Pirazinamid (Z) 35 mg/kgBB dan Ethambutol (E) 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH (H) dan Rifampisin (R) untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Ethambutol (E) dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH (H) (8).
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas bawah (1,7). Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium permanganas 1/5000 (1).
PROGNOSIS
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan, prognosisnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72
2. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA: McGraw-Hill Inc. 2003. Pages: 85-86
3. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta: EGC. 2005. Pages: 173-179
4. Arnold, Harry,L., Odom, Richard,B., James, William,D. Andrew’s DiseaseOf The Skin. Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia. W.B.Saunders Co. 1990. Pages: 375-384
5. Fitzpatrick, Thomas,B., Johnson,Richard, Alen., Wollf, Klaus., Polano, Machiel,K., Suurmanol, Dick. Color Atlas Synopsis Of Clinical Dermatology. Common And Serious Disease 3rd ed. USA. McGraw Hill Co. 1997. Pages: 664-668
6. AN. Mycobacterial Skin Infections Tuberculosis of The Skin. http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter07.htm#54
7. Olawunmi A. Fatusi, Olaniyi Onayemi, Kehinde E. Adebiyi, Victor A. Adetiloye, Foluso J. Owotade, Olumayowa A. Oninla. Tuberkulosis Cutis Orificialis (TBCO)/Lupus Vulgaris (LV): Simultaneous Occurrence And Review Of The Literature. The Internet Journal of Infectious Diseases. 2005. Volume 4 Number 2
8. Lebwohl M.G., Heymann W.R., Berth-Jones J., Coulson I., Treatment of Skin Disease: Comprehensive and Theraupetic Strategis. USA: Mosby Inc. 2002. Pages: 640-641
9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan., Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta. 2000. Pages: 234-236
1. Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Sindrom Chancriform yaitu syphilis primer dengan disertai chancre, penyakit cat-scratch, sporotrichosis, tularemia, infeksi M. marinum (5).
2. Tuberkulosis kutis verukosa
Kromomikosis, nevus verukosa, dan frambusis stadium II, veruka vulgaris, infeksi M. marinum, pyoderma, chromomycosis, bromoderma, lichen planus hipertrofik, dermatosis aktinik hipertropik (3,5).
3. Lupus Vulgaris
Sarkoidosis, lymphocytoma, lymphoma, lupus eritematosus kutaneus kronik, syphilis tersier, leprosy, blastomycosis, leismaniasis lupoid dan pioderma (5).
4. Scrofuloderma
Aktinomikosis, hidradenitis supurativa, limfopatia venereum, infeksi jamur invasive, sporothrikosis, nocardiosis, actinomicosis, syphilis tersier, acne conglobata (3,5).
5. Tuberkulosis kutis gumosa
Pannikulitis, infeksi jamur infasive, hidradenitis, syphilis tersier.
6. Tuberkulosis kutis orifisialis
Ulkus aphthous, histoplasmosis, syphilis.
PENGOBATAN
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH (H) disertakan, diantaranya karena obat tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki (1).
Pemilihan obat tergantung pada:
- keadaan ekonomi penderita,
- berat-ringannya penyakit, dan
- adakah kontraindikasi.
Dosis
INH (H)
anak 10 mg/Kg BB,
dewasa 5mg/Kg BB,
dosis maksimum 400 mg sehari.
Rifampisin (R)
10 mg/kg BB paling lama diberikan 9 bulan.
Pirazinamid (Z)
25 mg/kg BB
Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar.
Streptomisin (S)
15 mg/kg BB
dosis maksimun streptomisin 90 gram.
Ethambutol (E)
15 mg/kg BB
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal (intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman yang tumbuh lambat (1).
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada pasien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH (H) , Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin (S) tidak boleh diberikan (9).
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH (H) 5 mg/kgBB, Rifampisin (R) 10 mg/kgBB, Pirazinamid (Z) 35 mg/kgBB dan Ethambutol (E) 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH (H) dan Rifampisin (R) untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Ethambutol (E) dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH (H) (8).
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas bawah (1,7). Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium permanganas 1/5000 (1).
PROGNOSIS
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan, prognosisnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72
2. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA: McGraw-Hill Inc. 2003. Pages: 85-86
3. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta: EGC. 2005. Pages: 173-179
4. Arnold, Harry,L., Odom, Richard,B., James, William,D. Andrew’s DiseaseOf The Skin. Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia. W.B.Saunders Co. 1990. Pages: 375-384
5. Fitzpatrick, Thomas,B., Johnson,Richard, Alen., Wollf, Klaus., Polano, Machiel,K., Suurmanol, Dick. Color Atlas Synopsis Of Clinical Dermatology. Common And Serious Disease 3rd ed. USA. McGraw Hill Co. 1997. Pages: 664-668
6. AN. Mycobacterial Skin Infections Tuberculosis of The Skin. http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter07.htm#54
7. Olawunmi A. Fatusi, Olaniyi Onayemi, Kehinde E. Adebiyi, Victor A. Adetiloye, Foluso J. Owotade, Olumayowa A. Oninla. Tuberkulosis Cutis Orificialis (TBCO)/Lupus Vulgaris (LV): Simultaneous Occurrence And Review Of The Literature. The Internet Journal of Infectious Diseases. 2005. Volume 4 Number 2
8. Lebwohl M.G., Heymann W.R., Berth-Jones J., Coulson I., Treatment of Skin Disease: Comprehensive and Theraupetic Strategis. USA: Mosby Inc. 2002. Pages: 640-641
9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan., Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta. 2000. Pages: 234-236
No comments:
Post a Comment