Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologis dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Namun wanita hamil juga rentan terhadap berbagai kelainan darah yang mungkin mengenai setiap wanita usia subur. Kelainan-kelainan tersebut mencakup penyakit kronik yang didiagnosis sebelum hamil, misalnya anemia herediter, trombositopenia imunologis dan bahkan keganasan seperti leukemia dan limfoma. Pada kasus-kasus lain, kelainan timbul selama kehamilan akibat perubahan kebutuhan, misalnya anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik pada difisiensi folat. Pada sebagain kasus yang lain lagi, kehamilan mungkin menyamarkan kelainan hemalologis contohnya anemia hemolitik terkompensasi akibat hemoglobinopati atau defek membran sel darah merah. Akhirnya, setiap penyakit hematologis dapat muncul pertama saat hamil, misalnya anemia aplastik atau anemia hemolitik autoimun.
Definisi
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki cadangan besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control (1990) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua.
Penurunan sedang kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan pada wanita sehat yang tidak mengalami defisiensi besi atau folat disebabkan oleh penambah volume plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua. Istilah anemia fisiologis yang telah lama digunakan untuk menerangkan proses ini kurang tepat dan seyogyanya ditinggalkan. Pada kehamilan tahap selanjutnya, ekspansi plasma pada dasarnya berhenti sementara massa hemoglobin terus meningkat
Walaupun sedikit lebih sering dijumpai pada wanita hamil dari kalangan kurang mampu, anemia tidak terbatas hanya pada mereka. Frekuensi anemia selama kehamilan sangat bervariasi, terutama bergantung pada apakah selama hamil wanita yang bersangkutan mendapat suplemen besi.
- Didapat :
1. Defisiensi besi
2. Kehilangan darah akut
3. Peradangan atau keganasan
4. Defisiensi vitamin B12
5. Hemolisis
6. Aplastik
- Herediter :
1. Talasemia
2. Hemoglobinopati sel sabit
3. Anemia hemolitik herediter
Pengaruh anemia terhadap kehamilan
Etiologi anemia merupakan hal penting dalam mengevaluasi efek anemia pada hasil kehamlian. Sebagai contoh, pada wanita dengan anemia sel sabit, hasil akhir pada ibu dan perinatal sangat berubah. Saat ini, belum ada bukti yang menyatakan bahwa efek samping berkaitan dengan anemia itu sendiri, tetapi lebih berhubungan dengan penyulit vascular akibat pembentukan sel sabit (sickling). Menurut Bennet dkk. (1998), berdasarkan National Hospital Dischange Data tahun 1991 – 1992, anemia sendiri jarang menjadi penyebab rawat inap terkait kehamilan.
Klasifikasi
1.Anemia Defisiensi Besi
Penyebab tersering anemia selama kehamilan dan masa nifas adalah defisiensi besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya saling berkaitan erat, karena pengeluaran darah yang berlebihan disertai hilangnya besi hemoglobin dan terkurasnya simpanan besi pada suatu kehamilan dapat menjadi penyebab penting anemia defisiensi besi pada kehamilan berikutnya.
Penegakan diagnosis
Evaluasi awal pada wanita hamil dengan anemia sedang adalah pengukuran hemoglobin, hemaokrit, dan indeks-indeks sel darah merah, pemeriksaan cermat terhadap sedian apus darah tepi; preparat sel sabit apabila wanita yang bersangkutan keturunan Afrika; dan pengukuran konsentrasi besi atau ferritin serum, atau keduanya. Gambaran morfologis klasik anemia defisiensi besi-hipokromia dan mikrositosis dan mikrositosis eritrosit tidak begitu menonjol pada wanita hamil dibandingkan pada wanita tidak hamil dengan kosentrasi hemogolobin yang sama. Anemia difesiensi besi tingkat sedang selama kehamilan contohnya, konsentrasi hemoglobin 9g/dl,biasanya tidak disertai perubahan morfologis eritrosit yang nyata. Namun, dengan derajat anemia defisiensi besi sebesar ini, kadar feritin serum lebih rendah daripada normal, dan pewarna besi pada sumsum tulang memberi hasil negatif. Kapasitas serum untuk mengikat besi (serum iron-binding capacity) meningkat, tetapi kapasitas ini saja tidak banyak bernilai diagnostic karena kapasitas ini juga meningkat pada kehamilan normal tanpa defisiensi besi. Hyperplasia normoblastik sedang pada sumsum tulang juga sama dengan yang terjadi pada kehamilan normal. Karena itu, anemia defisiensi besi pada kehamilan terutama merupakan konsekuensi dari ekspansi volume darah tanpa ekspansi normal massa hemogolobin ibu.
Terapi
Tujuan terapi adalah koreksi defisit massa hemoglobin dan akhirnya pemulihan cadangan besi. Kedua tujuan ini dapat dicapai dengan senyawa besi sederhana ferro sulfat, fumarat, atau glukonat per oral yang mengandung dosis harian sekitar 200 mg besi elemental. Apabila wanita yang bersangkutan tidak dapat atau tidak mau mengkonsumsi preparat besi oral, ia diberi terapi parental (Andrews, 1999; Hallak dkk., 1997). Untuk mengganti simpanan besi, terapi oral harus dilanjutkan selama 3 bulan atau lebih setelah anemia teratasi. Transfuse sel darah merah atau darah lengkap jarang diindikasi untuk mengobati anemia defisiensi besi kecuali apabila juga terdapat hepovolemia akibat perdarahan atau harus dilakukan suatu tindakan bedah darurat pada wanita dengan anemia berat.
2. Anemia akibat perdarahan akut
Sering terjadi pada masa nifas. Solusio plasenta dan plasenta previa dapat menjadi sumber perdarahan serius dan anemia sebelum atau setelah pelahiran. Pada awal kehamilan, anemia akibat perdarahan sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Perdarahan masih membutuhkan terapi segera untuk memulihkan dan mempertahankan perfusi di organ-organ vital walaupun jumlah darah yang diganti umumnya tidak mengatasi difisit hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas, secara umum apabila hipovolemia yang berbahaya telah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia yang tersisa seyogyanya diterapi dengan besi. Untuk wanita dengan anemia sedang yang hemoglobinnya lebih dari 7 g/dl, kondisinya stabil, tidak lagi menghadapi kemungkinan perdarahan serius, dapat berobat jalan tanpa memperlihatkan keluhan, dan tidak demam, terapi besi selama setidaknya 3 bulan merupakan terapi terbaik dibandingkan dengan transfusi darah.
3. Anemia pada penyakit kronik
Gejala-gejala tubuh lemah, penurunan berat badan, dan pucat sudah sejak jaman dulu dikenal sebagai cirri penyakit kronik. Berbagai penyakit terutama infeksi kronik dan neoplasma menyebabkan anemia derajat sedang dan kadang-kadang berat, biasanya dengan eritrosit yan sedikit hipokromik dan mikrositik. Dahulu, infeksi khususnya tuberculosis, endokarditis, atau esteomielitis sering menjadi penyebab, tetapi terapi antimikroba telah secara bermakna menurunkan insiden penyakit-penyakit tersebut. Saat ini, gagal ginjal kronik, kanker dan kemoterapi, infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan peradangan kronik merupakan penyebab tersering anemia bentuk ini. Denominator bersama adalah meningkatkan produksi sitokin yang memperantarai respons imun atau peradangan (Means, 1999).
4. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah kelompok penyakit darah yang ditandai oleh kelainan darah dan sumsum tulang akibat gangguan sintesis DNA.
a.Defisiensi Asam Folat.
Anemia megaloblastik yang dimulai selama kehamilan hampir selalu disebabkan oleh difisiensi asam folat, dan dahulu disebut sebagai anemia pernisiosa gravidarum. Anemia ini biasanya dijumpai pada wanita yang tidak mengokonsumsi sayuran berdaun hijau, polong-polongan, dan protein hewani. Wanita dengan anemia megaloblastik mungkin mengalami mual, muntah dan anoreksia selama kehamilan. Seiring dengan memburuknya difisiensi folat dan anemia, anoreksa semakin parah sehinggga difisiensi gizi juga semaki parah. Pada sebagian kasus, konsumsi etanol yang berlebihan menjadi penyebab atau ikut berperan dalam timbulnya anemia ini.
Terapi
Asam folat, makanan bergizi, dan zat besi. Bahkan hanya 1 mg asam folat yang diberikan per oral setiap hari sudah dapat menimbulkan respons hematologis yang nyata. Dalam 4 sampai 7 hari setelah awal pengobatan, hitung retikulosit akan meningkat secara bermakna, sedangkan leucopenia dan trombositopenia akan segera terkoreksi. Kadang-kadang laju peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit tidak terlalu besar, terutama apabila dibandingkan dengan retikulositosis yang biasanya mencolok segera setelah terapi dimulai.
Pencegahan
Makanan yang cukup mengandung asam folat mencegah anemia megaloblastik. Telah banyak perhatian dipusatkan pada peran defisiensi folat pada pembentukan defek tabung saraf (neural – tube defect) Temuan-temuan ini mendorong Centers for Disease control (1992) dan American college of obstetricians and Gymecologists (1996) mengeluarkan anjuran bahwa semua wanita usia subur mengkonsumsi paling sedikit 0,4 mg asam folat setiap hari. Tambahan asam folat diberikan pada keadaan-keadaan kebutuhan folat sangat meningkat, misalnya pada kehamilan multijanin atau anemia hemolitik, misalnya penyakit sel sabit. Indikasi lain adalah penyakit peradangan kulit. Terdapat bukti bahwa wanita yang pernah melahirkan janin dengan defek tabung saraf mengalami penurunan angka kekambuhan apabila mereka mendapat asam folat 4 mg perhari sebelum dan selama awal kehamilan.
b.Defisiensi Vitamin B12
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama kehamilan sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumapai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus.
5.Anemia hemolitik didapat
a. Anemia Hemolitik Autoimun
Adalah penyakit yang jarang dan penyebab penyimpangan pembentukan antibodi tidak diketahui. Anemia yang disebabkan oleh faktor-faktor ini mungkin disebabkan oleh autoantibody aktif-hangat (80 sampai 90%), antibodi aktif – dingin, atau kombinasinya. Sindrom-sindrom ini juga dapat diklasifikasikan sebagai primer atau idiopatik, dan separuhnya adalah sekunder akibat suatu penyakit atau faktor lain. Contoh dari keadaan yang terakhir adalah limfoma dan leukemia, penyakit jaringan ikat, bebarapa infeksi, penyakit peradangan kronik atau akibat obat (provan dan Watherall, 2000). Pada sebagian kasus yang diklasifikasikan sebagai idiopatik, tindak lanjut yang cermat mungkin dapat mengungkapkan adanya suatu penyakit yang mendasari.
b.Anemia Hemolitik Akibat Obat
Hemolisis akibat obat yang dijumpai selama kehamilan harus dibedakan dari bentuk-bentuk lain anemia hemolitik autoimun. Hemolosis yang terjadi biasanya ringan, mereda setelah obat dihentikan, dan dapat dicegah dengan menghindari obat tersebut. mekanisme kerjanya berbeda-beda, tetapi umumnya terjadi karena cedera imunologis sel darah merah yang perantarai oleh obat. Obat yang bekerja sebagai hapten beratinitas tinggi dengan suatu protein sel darah merah. Tempat melekatnya antibodi antiobat ini, contohnya antibodi lgM antipenisilin. Obat dapat bekerja sebagai hapten berafinitas rendah dan melekat keprotein membran sel.
c.Anemia hemolitik akibat kehamilan
Anemia hemolitik yang tidak jelas sebabnya pada kehamilan, jarang dijumpai tetapi mungkin merupakan entitas tersendiri dan pada kelainan ini terjadi hemolisis berat yang dimulai pada awal kehamilan dan reda dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Penyakit ini ditandai oleh tidak adanya bukti mekanisme imunologik atau defek intra atau ekstraeritrosit (Starksen dkk 1983). Karena janin bayi juga mungkin memperlihatkan hemolisis transient, diduga terdapat suatu kausa imunologis. Terapi kortiko steroid terhadap ibu biasanya efektif.
d.Hemoglobinuria Noktural Paroksismal
Walaupun sering dianggap sebagai suatu anemia hemolitik, ini adalah suatu gangguan sel induk hemopoetik yang ditandai oleh terbentuknya trobosit, granulosit, dan eritrosit yang cacat. Hemoglobinuria nocturnal paroksismal merupakan penyakit didapat dan timbul dari satu klon sel yang abnormal, kurang lebih seperti neoplasma (Packham, 1998). Salah satu gen terkait – x yang mengalami mutasi dan berperan dalam penyakit ini disebut PIG – A (fofatidilinositol glikan protein A). Protein-pretoin utama abnormal yang terbentuk di membrane ertrosiit dan granulosit menyebabkan sel-sel tersebut sangat rentan mengalami lisis oleh kemplemen (Provan dan Weatherall, 2000)
Seperti diuraikan oleh Pritchard dkk (1976), walaupun jarang, hemolisis fragmentasi (mikroangiopatik) yang nyata disertai hemoglinemia kadang-kadang menjadi penyulit preeklamsia-eklamsia. Hal ini sering disebut sabagai sindrom HELP (Hemolysis, Elevated Liver Ensym an Low Platelest) .Anemia hemolitik didapat yang paling fuminan pada kehamilan adalah yang disebabkan oleh eksotoksin clostridium perferingens atau streptokokus b - hemolitikus grup A. Akhirnya, endotoksin bakteri gram-negatif, atau lipopolisakarida – terutama pada pielonefritis akut berat – mungkin disertai oleh tanda-tanda hemolisis dan anemia ringan sampai sedang (Cox dkk, 1991)
6. Anemia hemolitik akibat defek eritrosit herediter
Gambaran eritrosit normal berbentuk seperti cakram bikonkaf, dan dibandignkan dengan volumenya, luas permukaan membrane lebih besar. Hal ini memungkinkan terjadinya berbagai deformasi siklik reversible sewaktu eritrosit menghadapi gaya regangan yang tercipta di arteri dan berjalan melalui celah-celah lien yang lebih kesil daripada diameter melintangnya. Sejumlah defisiensi enzim atau kelainan herediter membran sel darah merah menyebabkan destabilisasi lapis-ganda. Lemak berkurangnya luas permukaan, dan sel yang kurang lentur sehingga mengalami hemolisis menyebabkan anemia dengan derajat bervariansi. Beberapa diantara kelaian herediter membran yang mempercepatkan destruksi ini adalah srositosis. Heraditer, piropoikilositesis dan ovalositosis.
a.Sferositosis Herediter
Walaupun sebagian besar disebabkan oleh defisiensi spektrin dominant autosom dengan penetrasi bervariasi, kelainan dapat juga bersifat resesif autosom dan mungkin disebabkan oleh defisiensi ankirin atau protein atau kombinasinya (Rosse dan Burn, 1994). Penyakit-penyakit ini secara klinis ditandai oleh anemia dan ikterus dengan derajat bervariasi akibat hemolisis sel darah merah mikrosferositik. Pemastian diagnosis adalah dengan membuktikan adanya sferosit pada apus darah tepi, retikulositosis, dan peningkatan fragilitas osmotic.
b.Defisiensi Enzim Sel Darah Merah
Eritrosit memerlukan sejumlah enzim agar dapat menggunakan glukosa dalam keadaan anaerob. Defisiensi dari banyak, tetapi tentunya tidak semua enzim ini dapat menyebabkan anemia nonsferotik herediter. Sebagian besar diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, sejauh ini adalah defisiensi enzim yang paling sering dijumpai, adalah pengecualian karena diwariskan secara terkait-X. terdapat lebih dari 400 varian enzim ini (Beytler, 1991). Pada varian A, diwarisi oleh sekitar 2 persen wanita Amerika-Afrika, aktivitas enzim di eritrosit sangat jauh berkurang. Pada keadaan hemozigot atau defisien ini, kedua jromosom X terkena. Keadaan heterozigot, dengan sati kromosom X normal dan sati defisien, ditemukan pada 10 sampai 15 persen wanita Amerika-Afrika. Defek ini mungkin sedikit banyak memberi perlindungan terhadap infeksi malaria. Inaktivasi acak kromosom X menyebabkan terjadinya berbagai defisiensi aktivitas enzim. Infeksi atau beberapa obat oksidan dapat memicu hemolisis pada sebagian wanita heterozigot serta homozigot. Karena itu, anemia bersifat episodic, walaupun beberapa varian menyebabkan hemolisis nonsferositik kronik. Karena eritrosit muda mengandung aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada eritrosit tua, tanpa adanya depresi sum-sum tulang, anemia akhirnya akan mengalami stabilisasi dan terkoreksi segera setelah obat penyebab dihentikan.
7. Anemia Aplastik dan Hipoplastik
Walaupun jarang dijumpai pada kehamilan, anemia aplastik adalah suatu penyulit yang parah. Diagnosis ditegakkan apabila dijumpai anemia, biasanya disertai trombositopenia, leucopenia, dan sumsum tulang yang sangat hiposeluler (Marsh dll, 1999). Pada sekitar sepertiga kasus, anemua dipicu oleh obat atau zat kimia lain, infeksi, radiasim, leukemia, dan gangguan imunologis. Anemia Fanconi dan sindrom Diamond-Blackfan merupakan penyakit herediter. Pada dua pertiga kasus lainnya, kausa tidak diketahui (Provan dan Weatherall, 2000). Kelainan fungsional mendasar tampaknya adalah penurunan mencolok sel indik yang terikat di sumsum tulang. Banyak bukti yang menyatakan bahwa penyakit ini diperantarai oleh proses imunologis (Young dan Maciejewski, 1997). Pada penyakit yang parah, yang didefinisikan sebagai hiposelularitas sumsum tulang yang kurang dari 25 persen, angka kelangsungan hidup 1 tahun hanya 20 persen.
Anemia Aplastik pada Kehamilan
Pada sebagian besar kasus, anemia aplastik dan kehamilan tampaknya terjadi bersamaan secara kebetulan. Karena sekitar sepertiga wanita membaik setelah terminasi kehamilan, dipostulasikan bahwa kehamilan-melalui satuan cara-memicu hipoplasia eritroid (Aitchison, 1989). Yang jelas, pada beberapa wanita, anemia hipoplastiknya pertama kali diidentifikasi saat hamil dan kemudian membaik atau bahkan sembuh saat kehamilan berakhir namun kambuh pada kehamilan berikutnya (Bourantas dkk, 1997, Snyder dkk, 1991).
Penatalaksanaan
Belum ada satu pun obat ertropoietik yang pada anemia lain dapat menyebabkan remisi terbukti efektif. Terapi untuk anemia aplastik yang parah, yang kemungkinan besar efektif adalah transplantasi sumsum tulang atau sel induk. Bagi pasien yang penyakitnya tidak terlalu parah, atau mereka yang tidak mendapatkan donor, terapi terbaik yang ada adalah globulin antitimosit (Marsh dkk, 1999). Terapi imunosupresif dengan siklosporin memperbaiki respons terhadap globulin antitimosit. Kortikosteroid mungkin bermanfaat, demikian juga testosteran atau steroid androgenic lainnya dalam dosis besar. Wanita yang diterapi hampir pasti mengalami virilisasi. Janin perempuan dapat memeprlihatkan stigmata kelebihan androgen (pseudohermafroditisme), bergantung pada senyawa, dosis, dan kapasitas plasma melakukan aromatisasi terhadap androgen.
Pencarian yang kontinu terhadap infeksi harus dilanjutkan, dan apabila ditemukan harus segera diberikan terapi antimikroba spesifik. Transfuse garanulosit diberikan hanya apabila benar-benar terjadi infeksi. Transfuse sel darah merah diberikan untuk anemia simtomatik, dan kami secara rutin memberi transfuse untuk mempertahankan hematoksit pada kadar sekitar 20. Apabila hitung trombosit sangat rendah, mungkin diperlukan transfuse trombosit untuk mengendalikan perdarahan. Pelahiran per vaginam dilakukan untuk meminimalisasi insisi dan laserasi sehingga pengeluaran darah dapat dikurangi saat uterus dirangsang berkontraksi kuat setelah pelahiran. Bahkan apabila trombositopenianya berat, risiko perdarahan dapat diperkecil dengan pelahiran per vaginam yang dilakukan sedemikian sehingga laserasi dan episiotomi luas dapat dihindari.
Transplantasi Sumsum Tulang, memerlukan terapi imunosupresif selama beberapa bula setelah transplantasi. Riwayat transfuse darah, dan bahkan kehamilan, meningkatkan risiko penolakan tandur. Bagi pasien, yang telah bebas penyakit selama 2 tahun, transplantasi menyebabkan angka harapan hidup menjadi 90 persen (Deef dkk, 1998). Penyakit graft-versus-host akut dan kronik merupakan penyulit serius yang tersering dan menyebabkan dua pertiga kematian dalam dua tahun pertama (Socie dkk, 1999). Kelompok peneliti yang sama ini melaporkan bahwa separuh dari 95 pasien wanita hamil.
Sumber : dari sini
No comments:
Post a Comment