Kalau melihat perawakannya, Bu Amah (60) cukup sehat. Tapi, wajahnya kelihatan menahan nyeri yang tak tertanggulangkan. Menurut penuturannya, dua tahun yang lalu ia pernah tertabrak sepeda motor sampai kepalanya terantuk aspal jalanan. Ia tidak muntah-muntah, sehingga petugas sebuah rumah sakit menyuruhnya pulang begitu selesai diperiksa. Ia juga tidak disarankan untuk scanning kepala, karena diperkirakan tidak menderita gegar otak.
Namun, setelah peristiwa itu berlalu, rasa nyeri kerap mendera bagian kanan wajahnya. Bahkan terkadang ia merasa baal. “Saya merasa terbantu setelah diurut. Tapi tukang urutnya sekarang sudah tak ada dan nyeri saya kambuh lagi”, katanya. Ketika berkunjung ke dokter, ia disarankan berobat di sebuah klinik nyeri.
Saraf Lapor Ke Otak
Rasa nyeri itu bukan penyakit melainkan akibat dari bagian tubuh yang mengalami sakit. “Nyeri itu merupakan manifestasi dari bagian tubuh kita yang patologis”, kata dr. Ali Sahab, ahli bedah saraf yang kini membuka Klinik Nyeri Cansebu di kawasan Mampang Prapatan,
Persisnya, nyeri yang memiliki gradasi mulai dari rasa tak enak yang ringan sampai yang akut, merupakan hasil stimulasi ujung saraf sensorik akibat terjadinya perlukaan atau penyakit. Saraf inilah yang “melapor” ke otak sehingga kita merasa nyeri. Dengan adanya laporan berbentuk nyeri ini tubuh yang mengalami ketidakberesan bisa diketahui.
Ambil contoh, bila terasa nyeri di tangan, itu bisa karena ketidakberesan saraf otonom, atau akibat kontraksi pembuluh darah karena kekurangan oksigen. Nyeri di kepala bisa merupakan manifestasi sakit maag, sakit gigi, sinusitis, kelainan otot-otot tengkuk, atau kelainan pada akomodasi mata sehingga menimbulkan ketegangan otot-otot mata. Jadi, nyeri di kepala bisa menjadi tanda adanya penyakit atau gangguan yang berbeda-beda. Belum lagi nyeri di tempat-tempat lain.
Seperti Bu Amah, pasien yang datang ke klinik nyeri itu kebanyakan sudah memasuki taraf kronis. Artinya, nyeri sudah disandang pasien lebih dari dua bulan. Biasanya mereka telah berobat ke banyak tempat dan memiliki data-data sehingga pihak klinik tidak perlu memeriksa dari awal.
Klinik nyeri antara lain bertugas melacak sebab-sebab timbulnya rasa nyeri. Begitu ketahuan penyebabnya, pasien dioper ke dokter ahli untuk ditanggulangi. Jika setelah diperiksa pasien menderita nyeri akibat gangguan akomodasi mata, misalnya, ia dikirim ke dokter mata. Bila nyeri akibat rangsangan otot-otot leher sehingga terjadi kekejangan atau kekakuan, dan diduga itu semua akibat adanya saraf yang terjepit, pasien dikirim ke dokter bedah saraf. Begitu seterusnya.
Pengetahuan tentang nyeri begitu luas dan kompleks sehingga masih harus didalami lebih jauh di tanah air. “Saya menggeluti nyeri ini sejak tahun 1988, tiga tahun setelah lulus sebagai dokter bedah saraf. Saya juga mendalaminya dengan pergi ke pusat-pusat klinik nyeri di luar negeri sambil membanding-bandingkan antara satu negara dengan yang lain”, kata dr. Ali Shahab, yang juga bertugas di RSPAD Gatot Subroto.
Gatal, Bentuk Paling Ringan
Bentuk nyeri yang paling ringan berupa rasa gatal. Itu merupakan tanda alergi atau ada yang tak beres di kulit.
Sementara bentuk nyeri yang lain adalah allodenia. Nyeri yang satu ini manifestasinya memang unik. Katakanlah nyeri itu menyerang tangan, misalnya, penderita tidak merasa sakit jika dicubit. Tetapi, hanya dengan sentuhan lembut atau terkena semilir angin saja, nyeri itu terasa amat sangat.
Diagnosis klinis yang sistematis merupakan sisi paling penting dalam mendiagnosis nyeri. Bila sudah diketahui penyakitnya, maka pengobatan pun segera dilakukan. Pengobatan yang paling ringan adalah dengan facet block (memblok) bagian sakit, misalnya dengan suntikan di tulang belakang untuk mengobati saraf ramus dos salis. Atau gangguan saraf di leher diberikan suntikan pada ganglion.
Pengobatan sedapat mungkin dilakukan tanpa operasi. Ini untuk menghindari kegagalan. Di Indonesia memang belum ada data tentang tingkat kegagalan ini. Namun, sebagai gambaran di AS kegagalan akibat operasi itu berkisar antara 30 – 35%. Bisa dibayangkan, jika penderita back pain ada sekitar 500.000 orang dan 20% dioperasi per tahunnya, maka kegagalan 30 – 35% itu berarti menyangkut 30.000 – 35.000 orang. Sehabis operasi bukannya hilang nyerinya, tetapi malah makin bertambah.
Karena itu penanganan operasi selalu merupakan pilihan terakhir. Namun, operasi ini bukan jalan keluar bagi penderita ketegangan otot, meskipun semua problem nyeri banyak yang menyangkut otot. Penderita ketegangan otot dirujuk ke bagian fisioterapi yang akan mengatasinya dengan terapi relaksasi. Misalnya, pasien yang punya riwayat pernah jatuh dan tanpa sadar ototnya menderita perdarahan kecil sampai terbentuk hematoma, yang lama-kelamaan membuat otot tegang akibat terbentuknya jaringan ikat. Dengan kencangnya otot, pembuluh darah di sekitarnya kekurangan oksigen. Terapi relaksasi dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi otot.
Jenis fisioterapi bermacam-macam.
Apabila pasien sudah diobati rasa nyerinya, direlaksasi ototnya, ia harus dipertahankan kondisinya dengan melakukan medical fitness. Dalam hal ini pasien melakukan gerakan-gerakan tubuh yang dibenarkan secara medis untuk melatih otot dalam mempertahankan kebugaran.
Gerakan yang dianjurkan tergantung pada kondisi pasien. Jika pasien seorang penderita back pain, ia tidak boleh melakukan gerakan yang dapat memperparah penyakitnya, seperti memutar-mutar tubuh ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang keras.
Oleh Anglingsari SI SK
Intisari edisi Desember 1998
No comments:
Post a Comment