Sunday, August 26, 2007

ULKUS - Derita Seputar Usus


Lambung dan usus merupakan kawan senasib. Kalau ada makanan enak yang melewatinya, keduanya akan bekerja keras untuk “melumatnya” tanpa basa basi. Sebaliknya, bila makanan kelewat pedas, mengandung kuman atau malah tidak ada sama sekali yang lewat, mereka justru akan didera luka.
Selanjutnya harus bagaimana?

Seorang pria berusia 41 tahun menyantap gulai kepala ikan kakap kegemarannya di sebuah restoran padang tiba-tiba pria hampir paruh baya ini merasakan perutnya sakit sekali. Pola makan pria ini memang amburadul. Kadang makan terlalu banyak, kadang kelewat jam makan. Alhasil, begitu menghadap dokter ia dirujuk ke bagian gastroenterology, karena divonis menderita ulkus peptikum.

Fenomena ini bak potret masyarakat modern kita. Seiring dengan perubahan status sosial, pola makan pun ikut berubah. Makan sepuasnya, makan yang enak-enak bahkan mencicipi minuman keras dan kafein.

Ulkus peptikum itu luka berbentuk bulat atau oval berwarna kemerahan. Terjadi karena selaput dinding lambung tergerus asam lambung dan cairan percernaan. Pada kasus pria tersebut, bagitu makanan masuk ke lambung, otomatis produksi asam lambung semakin banyak, ditambah adanya luka, rasa sakitpun kian menjadi-jadi.

Ada dua ulkus yang lazim menyerang.
Ulkus duodenum (luka di usus dua belas jari) yang paling sering terjadi, dan Ulkus gastrikum yang terjadi sepanjang lengkungan lambung bagian atas. Dr. Eva Jeumpa Soelaeman, Sp.A, ahli gastro anak pada RSAB Harapan Kita, menyebutkan penyakit ini dapat bisa menyerang orang dewasa sampai usia tak terbatas. Langganannya memang orang dewasa, tapi bukan berarti tak pernah menyerang anak-anak. Meski jarang, pernah Dr. Eva mendapati anak berusia dua tahun menderita penyakit ini.

Erosi Obat
Biasanya, yang menyerang anak-anak itu ulkus duodenum yang disebabkan kuman Helicobacter pylori. Penularannya akibat kontak erat dengan orang tua atau kakek nenek. “Koloni kuman ini ada di dalam mulut,” jelas Dr. Eva. “Ketika menyuapi anak, kebiasaan kita, jika makanan masih panas, lalu ditiup-tiup supaya lekas dingin. Malah ada yang dimamah dulu, setelah halus baru diberikan ke anak. Ini berbahaya! Atau saking gemasnya si anak dicium-cium, hingga terkena percikan air ludah.”

Pada orang dewasa yang sekresi asam lambungnya berlebihan ulkus cenderung lebih gampang terjadi. Luka itu terbentuk akibat rusaknya mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi duodenum dan lambung dari serangan asam lambung. Namun, apa penyebab pasti kerusakan itu masih belum diketahui. Seperti dijelaskan Dr. Eva, kuman H. pylori hingga kini masih disangka sebagai biang keladi terjadinya ulkus peptikum. Belum terdeteksi cara bakteri ini beraksi. Perkiraan sementara, mengintervensi sistem pertahanan lambung atau memproduksi toksin yang menyebabkan ulkus.

Masih menurut Dr. Eva yang mendalami gastro anak di Amerika Serikat (1995 - 1997), pasien ulkus gastrikum umunya berusia lebih tua ketimbang penderita ulkus duodenum. Pada orang-orang berumur, sejumlah obat-obatan dapat menyebabkan erosi dan ulkus lambung, antara lain, aspirin, ibuprofen, dan obat-obat antiinflamasi nonsteroid lainnya. Memang, erosi dan ulkus ini bias sembuh bila obat dihentikan, tapi akan kambuh lagi biala penderita meminumnya lagi.

“Selain kuman H. pylori dan Hyper sekresi asam lambung yang tidak ditangani dengan baik juga akan menyebabkan dinding lambung lecet kemerahan, lama-lama luka jadi dalam dan menjadi tukak”, ujar Dr. Eva.Yang merangsang produksi asam lambung adalah keadaan stres dan tak mau makan sama sekali, sebab asam lambung keluar tapi tidak ada yang dicerna. Makanya, asam ini jadi melukai usus.

Lantaran berhubungan dengan jalur pencernaan, yang berpotensi terjangkit tentulah mereka yang memiliki kebiasaan makan tak teratur atau makan hanya selagi sempat dan mau saja. Apalagi lebih memilih tidak makan kalau lauk pauknya tidak membangkitkan selera. Dengan kata lain, orang yang teramat kejam terhadap perutnya sendiri. Disamping itu faktor selera pedas juga berperan. Jadi, celakalah mereka yang hanya mau makan jika di meja makan tersedia makanan pedas nan merangsang lidah dan penuh lada.
Yang menarik, Dr. Eva juga mensinyalir kuatnya faktor genetik di antara para penderita.

Tiga Komplikasi
Gejala yang dirasakan penderita tergantung pada lokasi ulkus dan usia penderita. Susahnya, ternyata ada yang tidak menampilkan gejala sama sekali. Soalnya, ulkus itu bias sembuh dan kambuh begitu saja. Namun secara umum, hampir setengah penderita ulkus duodenum merasa nyeri, panas, lapar dan perih. Nyeri biasanya terjadi saat perut kosong atau beberapa saat setelah bangun tidur. Nyeri itu tak putus-putus dan hanya muncul di bagian tertentu. Setelah minum susu, makan atau minum antacid, barulah nyeri pergi dan kembali 2 – 3 jam kemudian.

Rasa nyeri juga bias datang sekitar pukul 01.00 – 02.00 pagi selama satu hingga beberapa minggu. Anehnya, nyeri itu bisa hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tapi, dua tahun kemudian misalnya, kambuh lagi. Sementara gejala ulkus gastrikum berbeda dengan ulkus duodenum. Makan justru menambah rasa nyeri, ketimbang menghilangkannya. Biasanya ulkus menyebabkan pembengkakan pada jaringan yang menuju ke usus kecil, sehingga menhalangi pengosongan makanan dari lambung. Hal ini menimbulkan rasa kembung, mual atau muntah setelah makan.

Penyakit kambuhan seperti ini tentu sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada kasus tertentu, malah bisa meningkat menjadi kanker usus. Makanya, harus cepat diatasi, sebelum kena komplikasi penetrasi, perforasi dan perdarahan. Pada penetrasi, ulkus menembus lapisan otot lambung atau duodenum sampai ke hati atau pankreas. Timbul nyeri hebat terus-menerus, dirasakan diluar arena yang terkena.. Misal, ulkus duodenum yang menembus pankreas, nyeri terasa di punggung. Bila pengobatan tak menyembuhkan, terpaksa harus dioperasi.

Sementara perforasi biasa terjadi pada ulkus duodenum, menembus dinding, dan membuat lubang terbuka ke rongga perut. Rasa nyeriny tiba-tiba, amat sangat dan tak henti-henti. Penderita merasakan nyeri pada salah satu atau kedua bahu. Nyeri bertambah hebat bila bernafas dalam. Karena sedikit mengubah posisi membuat nyeri semakin hebat, sebaiknya penderita berbaring dan diam. Saat ditangani dokter, perut terasa nyeri bila disentuh dan makin sakit jika mendadak dokter melepas tekanannya. Jika disertai demam, berarti terjadi infeksi. Bila tak cepat ditangani, akan timbul shock, yang harus diatasi segera dengan jalan operasi.

Komplikasi berikutnya, perdarahan, paling sering terjadi. Penderita memuntahkan darah merah segar, atau gumpalan merah kecokelatan. Jika buang air besar, feses berwarna hitam atau ada darah segar. Meski termasuk gejala ulkus, perdarahan bisa saja berasal dari tempat lain di saluran pencernaan. Bila sumber perdarahan tidak dapat ditemukan dan perdarahan sulit dihentikan, pengobatan diberikan dengan antagonis H2 dan antasid. Penderita juga dipuasakan agar saluran pencernaan dapat beristirahat. Bila perdarahan hebat atau terus-menerus, dokter dapat menggunakan endoskop untuk menyuntikkan obat. Bila masih gagal juga, terpaksa dilakukan pembedahan.

Untuk mengantisipasi mengganasnya ulkus, dokter punya beberapa pilihan. Pertama, endoskopi melalui mulut untuk melihat langsung ke dalam lambung. Khusus pemeriksaan ulkus duodenum dan dinding belakang lambung, endoskopi lebih dapat dipercaya ketimbang sinar-X. Juga lebih disarankan buat pasien beriwayat operasi lambung. Cara kedua, menggunakan rontgen denga kontras barium alias barium swallow atau seri gastrointestinal atas. Cara ini dipakai jika proses endoskopi tak menemukan ulkus.

Cara ketiga, analisis lambung, yaitu pemeriksaan dengan menghisap cairan lambung atau duodenum, sehingga jumlah asam bisa diukur. Prosedur ini dilakukan bila ulkus sangat parah atau penderita dijadwalkan untuk menjalani operasi. Terakhir, tes darah. Walau tidak dapat mendeteksi ulkus, tes dapat menunjukkan ada dan tidaknya anemia akibat perdarahan dari ulkus. Pemeriksaan darah juga dapat mendeteksi adanya kuman H pylori.

TIPS
3 Langkah Amankan Lambung :
Makan teratur, sehari tiga kali, dengan porsi secukupnya. Ditambah makanan kecil pukul 10.00 dan pukul 16.00. Dengan jadwal makan macam ini, tiga jam sekali perut terisi, sehingga bioritme produksi asam lambung teratur.
Hindari mengkonsumsi kafein, soft drink, atau minuman lain yang merangsang asam lambung.
Jauhkan diri dari makanan merangsang, seperti sambal sangat pedas, lada dan sebagainya.

Oleh Dharnoto
Intisari edisi Mei 2004


Tuesday, August 21, 2007

Mengurangi Ketergantungan Terhadap Susu Formula

susu_formulaAksi Suara Ibu Peduli rupanya cukup menggelitik banyak pihak untuk ikut berkomentar. Antara lain tulisan-tulisan Bung Zaim di harian Republika (27/02/98 dan 05/03/98). Kemudian sepucuk surat dari mbak Karlina yang mewakili Ibu-ibu Peduli menanggapi tulisan di harian yang sama (05/03/98). Rasanya sebagai ibu rumah tangga dan pengamat masalah Ibu dan Anak, penulispun tergelitik dan gatal tangannya untuk ikut "urun rembug" kalau dapat dikatakan demikian, untuk ikut menanggapi tulisan-tulisan atau publikasi terdahulu. Hal ini jangan sampai menimbulkan suatu opini yang rancu di masyarakat.

Masalah yang dilontarkan Bung Zaim dan Mbak Karlina memang tidak dapat dengan penyelesaian jangka pendek dan hanya sepihak saja. Banyak instansi baik pemerintah maupun non pemerintah terkait di sana. Keduanya memandang dari sudut yang berbeda, dan juga tidak ada yang salah. Pengetahuan mbak Karlina akan ASI tidak perlu disangsikan lagi, bahkan beliau pendukung ASI sejak gerakan ASI belum dicanangkan. Hanya bagaimana alternatif penyelesaiannya itulah yang menjadi tanggung jawab mereka yang peduli akan terbentuknya generasi suatu bangsa yang sehat dan cerdas di masa depan. Mungkin dalam jangka pendek yang diharapkan adalah turunnya harga susu dengan segera, tetapi permasalahan tidak menjadi selesai karenanya. Masyarakat luas pada umumnya tetap tinggi ketergantungan akan susu formula.Justify Full

Dalam keadaan krisis ekonomi sekarang ini yang dirasakan berat bahkan sangat berat oleh banyak pihak, antara lain dengan membumbungtingginya harga susu formula. Aksi yang digelar oleh Ibu-ibu Peduli, memang merupakan "nurani Ibu yang dipenuhi cinta universal, sehingga menjadikan derita orang lain menjadi bagian dari kisah hidupnya", sehingga sidang kasus Karlina yang diliput oleh wartawan dalam dan luar negri itu, sempat menarik banyak simpatisan. Sementara tulisan Bung Zaim yang mewakili "Bapak-bapak pendukung Gerakan ASI", mungkin ada yang hanya membacanya selintas, bahkan mungkin segera terlupakan. Padahal masalah keduanya adalah sama bahwa ketergantungan Ibu akan susu formula cenderung tinggi. Sehingga ketika susu formula hilang dipasar dan kemudian muncul dengan harga tinggi, banyak ibu yang menjerit.

Kelompok- kelompok yang memerlukan susu

Pertama, yaitu ibu-ibu yang sepenuhnya menyusui anaknya dengan ASI tanpa diselingi susu formula dalam jangka waktu yang cukup bagi si anak untuk dihentikan pemberian ASI-nya. Bagi golongan ini tidak perlu diganggu gugat, bahkan diberi penghargaan dari masyarakat terhadap "tekad"nya itu. Mungkin yang dirasakan berat saat ini bagi mereka adalah untuk mendapatkan makanan bergizi sehingga kualitas ASI yang dihasilkanpun cukup baik. Ketergantungan mereka akan susu formula dapat dikatakan tidak ada. Rasanya merekapun tidak menjadi ikut panik ketika susu formula hilang dipasaran. Demikian pula susu formula bagi ibu menyusui, dapat digantikan dengan bahan alami lainnya.

Kedua, adalah ibu-ibu yang digambarkan mbak Karlina sebagai bekerja sebagai pilihan sendiri bukan karena keterpaksaan soal makan atau tidak makan. Untuk kelompok ibu-ibu ini bukan mereka tidak sadar atau tidak tahu pentingnya ASI, bahkan kadang sembunyi-sembunyi untuk mengeluarkan ASInya di WC kantor. Susu formula adalah alternatif tercepat yang mereka pilih untuk mengatasi kebutuhan si bayi selama mereka bekerja apalagi mereka yang harus dinas luar kota selama beberapa hari misalnya. Selanjutnya apa yang dikemukan mbak Karlina bahwa setelah mereka berada di rumah, sesegera mungkin dan selama mungkin menyusui anak dengan ASI, bahkan kalau perlu "sepanjang malam". Pada kenyataannya dan didukung hasil-hasil penelitian serta tulisan -tulisan ilmiah, hal itu tak baik untuk dilakukan.

Bayi yang normal cukup 5-6 kali sehari mendapat ASI dengan waktu masing-masing pemberian ASI 10-20 menit dan tidak bisa dikompensasi sekaligus misalnya dengan. sepanjang malam atau selama mungkin karena sang Ibu pun perlu istirahat, untuk dapat berproduksi ASI lagi keesokan harinya dan si bayi tidak dibiasakan "mengempeng", dari dada ibu yang tak mengeluarkan ASInya lagi. Berdasarkan suatu penelitian ilmiah pula bahwa ibu-ibu yang capai bekerja, apalagi stress di tempat kerja atau dalam perjalanan pulang dan pergi ke tempat kerja, dapat mempengaruhi produktivitas ASInya. Hormon "Adrenalin" yang dapat terbentuk karena sang ibu mengalami stress atau kerja berat akan menghambat atau setidaknya mengurangi keluarnya ASI. Jadi jangan salahkan siapa-siapa jika ketika pulang kantor si bayi hanya dapat tercukupi dengan satu atau dua kali ASI saja.

Pada kelompok ibu-ibu ini perlu diberikan hak-hak yang lebih baik, disamping kerelaan si ibu juga untuk membagi hak gajinya yang berkurang. Di Jerman di negara yang saat ini penulis bermukim di kenal "cuti pendidikan anak (erziehungurlaub)" selama 18 bulan. Ibu-ibu yang bekerja diperusahaan atau kantor-kantor tidak akan kehilangan kursi ketika ia masuk lagi, karena selama ia cuti ada yang menggantikannya. Hanya saja gajinya tidak diterima penuh karena perlu dibagi untuk penggantinya selama ia cuti. Tapi mereka menikmati cuti tersebut untuk sepenuhnya menyusui anaknya dan ketika ditinggalkan untuk kembali bekerja anak-anak mereka sudah tidak lagi tergantung ASI juga tidak pada susu formula, karena mereka sudah mendapat asupan yang lengkap seperti halnya manusia dewasa.

Hal lain adalah membagi waktu kerja "part time". Bagi mereka yang mempunyai bayi (di sana sampai usia 5-6 bulan disarankan ASI sepenuhnya). Tentu saja konsekwensinya pun ibu-ibu tersebut harus rela gajinya berbagi dengan teman kerjanya. Hal ini bukan saja berdampak positif bagi kelangsungan pemberian ASI, juga membuka lapangan dan kesempatan kerja bagi ibu-ibu yang tergolong kelompok ini dan tidak sedang adalam masa menyusui anak. Hal ini perlu juga diupayakan menjadi undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia misalnya. Tidak saja Instansi ketenagakerjaan ataupun kesehatan yang ikut mengupayakannya, rasanya Menteri UPW yang akan datang pun diharapkan dapat menggolkan hak-hak ibu yang bekerja menjadi lebih baik, tidak hanya menambah jumlah lapangan dan kesempatan kerja bagi wanita. Dengan ini ketergantungan akan susu formula pun dapat dikurangi.

Pemberian ASI di tempat kerja juga suatu alternatif mengurangi ketergantungan akan susu formula, tetapi jika tempat kerja jauh dari rumah, sementara di sana tidak ada tempat penitipan anak, dengan siapa si bayi selama ibu bekerja?. Imbauan mbak Karlina untuk para bapak agar mampir ke tempat istrinya pada saat istirahat untuk mengantar ASI yang dibotolkan juga, rasanya kurang relevan. Berapa jauh jarak yang ditempuh sang bapak dan berapa biaya yang harus dikeluarkan setiap hari untuk ke sana ke sini menjemput dan mengantar ASI. Pembotolan ASI pun bukan satu alternatif yang paling baik, karena seperti diungkapkan mbak Karlina sendiri adanya kedahsyatan hubungan psikhologis antara ibu dan anak ketika si anak berada dalam dekapan dan menyusu dari payudara ibunya. Selain itu segi sanitasi dan kontaminasi ASI selama dalam botol sulit juga pengupayaannya, apalagi kalau harus dibawa ke sana kemari. Dulu penulis pernah berupaya mencari tempat tinggal dekat tempat bekerja, sehingga sewaktu-waktu dapat pulang untuk memberikan ASInya. Tetapi sulit untuk mendapat keadaan seperti itu sekarang, apalagi di kota-kota besar.

Ketiga, adalah kelompok ibu yang oleh mbak Karlina sebagai memilih bekerja sebagai soal makan atau tidak makan. Ibu-ibu yang ingin mendekap anaknya tapi tidak mempunyai pilihan. Mereka pun jangan dijadikan "korban" penggunaan susu formula. Bagi masyarakat kelas ekonomi rendah (para buruh harian misalnya), jangankan ketika harga susu formula melangit, ketika masih normalpun tidak terjangkau oleh mereka. Mereka memberikan alternatif-alternatif lain sebagai penggantinya, antara lain air tajin yaitu air godokan beras (seperti yang pernah diberikan ibu penulis ketika kecil). Pada kelompok ini yang harus diperjuangkan adalah "penerangan gizi yang baik dan benar". Gizi yang baik dan benar tidak hanya diperoleh melalui susu formula. Jadi gerakan-gerakan posyandu oleh ibu-ibu PKK maupun tim-tim kesehatan pun sebaiknya tidak memberikan susu-susu contoh pada kegiatannya ataupun seperti yang diistilahkan Bung Zaim sebagai suatu "medikalisasi", dengan mudahnya rumah-rumah sakit memberikan "susu contoh berupa susu formula". Maka dalam hal ini Instansi-instansi kesehatan juga organisasi-organisasi masyarakat dapat turut serta menggalakkan pengurangan ketergantungan akan susu formula. Suatu kejadian yang ironis, jika seorang yang bekerja menggerakkan kegiatan kembali pada ASI, tetapi bersamaan dengan itu, anaknya di rumah ditinggalkan dengan botol yang berisi susu formula.

Upaya lain yang dapat dilakukan pada kelompok ini seperti pada kelompok ke dua di atas, yaitu memberikan hak-hak yang lebih baik bagi ibu yang bekerja di pabrik-pabrik misalnya. Cuti yang tiga bulan itu diberikan, dengan tetap memberikan upah walaupun tidak penuh. Jadi Para pengusahapun harus mau ikut bertanggungjawab memikirkan hari depan generasi akan datang yang terbentuk antara lain dari pemenuhan kebutuhan fisiknya ketika masa bayi melalui pemberian hak yang wajar bagi para ibu-ibu yang bekerja, tidak hanya memeras tenaganya saja. Pesan "moral" di sini sepatutnya cukup dihiraukan. Alternatif lain seperti yang disarankan mbak karlina, mengupayakan adanya tempat penitipan anak di lingkungan pabrik. Sehingga ibupun dapat tenang dan berproduksi optimal. Tapi dalam keadaan seperti sekarang ini sulit untuk kedua hal di atas sulit untuk segera diterapkan oleh perusahaan atau pabrik tempat ibu-ibu tersebut bekerja.

Keempat, adalah kelompok ibu-ibu yang dengan sengaja meninggalkan kewajiban menyusui anaknya berdasarkan "keinginan sendiri", antara lain mereka yang enggan memberikan ASI karena akan kehilangan sebagian daya tarik seksualnya, karir akan terhambat atau repot karena urusan bisnis. Mungkin kelompok inilah konsumen terbesar akan susu formula. Dalam keadaan ekonomi sekarang ini mereka pun tidak terlalu banyak terguncang, harga tinggi tidak menjadi masalah, yang penting susu formula tersedia di pasaran.

Inilah kelompok ibu-ibu yang perlu diberi pengertian lebih mendalam akan pentingnya ASI dan "manajemen laktasi"nya. Juga suatu kesadaran bahwa pengambilan keputusan untuk melahirkan anak, disertai tanggungjawab memenuhi kebutuhan si bayi akan ASI yang menjadi haknya. Ketuklah hati mereka lebih dalam bahwa kembalinya mereka pada ASI akan memberi dampak positif bagi masyarakat pada umumnya. Dengan memberi contoh memborong susu formula hanya akan menimbulkan dampak negatif saja, terutama bagi golongan mereka yang tak mampu untuk membelinya.

Kelima, adalah kelompok ibu-ibu yang karena sakit atau bahkan meninggal saat bayinya masih memerlukan ASI, antara lain bayi-bayi yang berada di panti asuhan. Memberikan pengganti ibu pemberi ASI bukan suatu jalan keluar bahkan kemungkinannya sangat kecil. Demikian juga pemberian susu formula bukan satu-satunya alternatif yang dapat diambil. Sumbangan berkaleng-kaleng susu pada mereka tidak memecahkan masalah, apalagi jika keadaan seperti sekarang ini, dikala sumbangan menurun frekwensinya, maka sulitlah mereka mencari susu pengganti karena sudah terbiasa akan prosuk susu formula. Alangkah lebih baik sumbangan itu dikonkritkan dengan lemari pendingin atau alat-alat sterilisasi sederhana, sehinggga panti-panti asuhan mampu menyiapkan susu pengganti dari susu sapi segar yang harganya relatif masih lebih rendah dari susu formula.

Di samping itu diberikan penerangan yang sebaik-baiknya bagaimana perlakuan terhadap susu segar itu, juga penerangan gizi yang memadai untuk mencukupi kebutuhan gizi si bayi yang perlu dilengkapi dari bahan-bahan alami lainnya. Ini memang menambah pekerjaan bagi pengurus panti asuhan, tetapi dengan kesadaran semua pihak, bahwa kekurangan gizi tidak hanya bisa dicukupi dengan susu formula, maka pekerjaan itu selanjutnya akan tertangani.

Keenam, adalah kelompok balita yang sudah melampaui masa mendapatkan ASI, tetapi tetap membutuhkan susu. Memang betul pertumbuhan kecerdasan mereka akan ditunjang oleh kecukupan gizi yang baik.

Bukankah susu dalam ilmu gizi sebagai bahan penyempurna setelah bahan lainnya (ingat ! 4 sehat 5 sempurna) Memang dalam susu terutama susu formula tersedia semua bahan-bahan essensial yang dibutuhkan tubuh. Akan tetapi apakah dengan meminum susu saja cukup? Bahkan jika terlalu banyak susu pun anak menjadi kegemukan (obesitas), dan akan lamban dalam beraktivitas. Hal lain, pemenuhan susu sebagai penyempurna itupun tidak harus berasal dari susu formula. Jika kebutuhan susu dipenuhi dengan susu segar, dan kebutuhan lainnya dari makanan alami yang kita konsumsi sehari-hari. Maka ketergantungan akan susu formula bagi si anakpun dapat dikurangi dengan tidak menjadikan sinak sebagai anak yang kurang gizi.

Banyak alternatif lain untuk mencukupi protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral bagi si anak, antara lain memasyarakatkan konsumsi sayuran dan buah bagi anak-anak. Karena di sanalah sumber vitamin dan mineral yang sering diunggulkan oleh berbagai produk susu formula dalam "fortifikasinya". Asam lemak tak jenuh dapat diperoleh dari minyak yang berasal dari tumbuh.tumbuhan. Sedangkan enzim-enzim yang juga diiklankan susu formula dapat diganti dari bahan-bahan alami yang dimakan sehari-hari.

Sekali lagi penerangan gizi yang baik ternyata perlu disebarkan ke seluruh masyarakat, baik dari lapisan kelas ekonomi rendah sampai yang tinggi sekalipun. Karena kadang-kadang justru anak-anak dari mereka yang tergolong kelas ekonomi tinggi dengan mudahnya membeli makanan-makanan jajanan (misalnya Fast food), yang kadangkala masih harus dipertanyakan nilai gizinya.


Upaya Bersama untuk Menurunkan Ketergantungan Susu Formula

Pengalaman yang dirasakan penulis dan juga pengamatan yang dilakukan selama beberapa tahun bermukim di suatu negara yang tingkat ekonominya boleh dikatakan lebih maju, penggunaan susu formula bagi sebagian ibu banyak dijauhi, mereka lebih senang kembali ke bahan-bahan alami yang diolah sekedarnya (susu pasteurisasi). Hanya mereka-mereka yang "terpaksalah" menggunakannya. Padahal daya beli mereka masih cukup untuk memberikan susu formula bagi anaknya. Di bawah ini penulis ingin mengemukakan beberapa contoh gerakan ASI yang menyeluruh dari semua pihak.

Di rumah-rumah sakit, bagi ibu yang melahirkan segera bayinya dalam keadaan masih merah (belum dimandikan) segera diberikan pada dekapan sang ibu. Setelah si ibu berisirahat sejenak, si bayi segera diserahkan kembali untuk mengisap puting susu ibunya, sehingga ASI akan cepat terangsang keluar. Jika ASI belum keluar (seperti yang dialami penulis sampai hari ke2), si bayi tidak segera diberi susu botol tapi sementara diberi dulu teh berasal dari tumbuhan (Fenchel, Kamille dsb), kalau dirasa kurang kalori, diberi tambahan gula sedikit. Usaha mengenalkan si bayi akan susu selain ASI dihindari sejauh mungkin.

Susu-susu contoh yang berupa susu formula tidak diberikan atau diiklankan di rumah sakit ketika si pasien pulang, kecuali dalam hal-hal tertentu. Dinas-dinas kesehatan baik pemerintah maupun non-pemerintah juga organisasi-organisasi kemasyarakan dan keagamaan, menyebarkan brosur-brosur yang berkenaan dengan ASI. Bahkan bagi mereka yang menemui kesukaran dalam memberikan ASI bagi bayinya, ada grup-grup sosial yang dapat membantu memecahkan masalah tersebut. Para pengusaha susu formula mengiklankan produknya melalui salesman yang datang dari rumah ke rumah atau di dalam brosur-brosur khusus bagi Ibu dan Anak, yang mereka keluarkan sendiri. Sedikit sekali dijumpai dalam majalah atau koran-koran secara umum.

Gerakan penggunaan ASI, disadari oleh semua pihak dan dilakukan di mana-mana. Dokter-dokter anak sangat menekankan si Ibu untuk memberikan ASInya. Media massa audio visual, termasuk TV jarang mengiklankan susu formula. Bahkan rasanya dari channel TV yang dapat ditangkap oleh penulis, tidak ada yang mengiklankannya.

Susu segar banyak menjadi pilihan konsumen. Karena mereka menganggap kandungan gizinya lebih alami. Bahkan di beberapa supermaket yang melayani kebutuhan sehari-hari, tidak ditemukan produk-produk susu formula. Susu tersebut hanya di dapat di rumah-rumah obat, apotik-apotik dan beberapa supermaket besar, itupun dalam jumlah terbatas.


Memang mengurangi ketergantungan terhadap susu formula harus melalui jalan yang panjang, termasuk peranan pemerintah untuk meningkatkan jumlah dan kualitas sapi perah hingga tercukupinya kebutuhan masyarakat. Mungkin yang perlu diberi subsidi atau insentif tertentu adalah peternak-peternak sapi, kemudian juga mempermudah pendistribusian susu segar sampai ketangan konsumen termasuk pengupayaan penanganan susu segar kepada seluruh lapisan masyarakat. Hingga nantinya mereka yang membutuhkan susu tinggal cari di kios atau toko terdekat dengan harga yang terjangkau.

Untuk sementara mungkin sebagian hal yang ideal di atas masih suatu impian, tetapi dengan kerja keras dan kepedulian banyak pihak, persoalan ketergantungan akan susu formula dapat dikurangi. Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak semua pihak turut memikirkan gaung yang telah diperdengarkan melalui aksi Suara Ibu Peduli, tentu saja untuk mencari jalan pemecahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dan itu baiknya kita mulai dari diri sendiri.
Oleh: Mira Suprayatmi