Monday, June 29, 2009

Anemia dan Kehamilan

Pendahuluan
Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologis dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Namun wanita hamil juga rentan terhadap berbagai kelainan darah yang mungkin mengenai setiap wanita usia subur. Kelainan-kelainan tersebut mencakup penyakit kronik yang didiagnosis sebelum hamil, misalnya anemia herediter, trombositopenia imunologis dan bahkan keganasan seperti leukemia dan limfoma. Pada kasus-kasus lain, kelainan timbul selama kehamilan akibat perubahan kebutuhan, misalnya anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik pada difisiensi folat. Pada sebagain kasus yang lain lagi, kehamilan mungkin menyamarkan kelainan hemalologis contohnya anemia hemolitik terkompensasi akibat hemoglobinopati atau defek membran sel darah merah. Akhirnya, setiap penyakit hematologis dapat muncul pertama saat hamil, misalnya anemia aplastik atau anemia hemolitik autoimun.

Definisi

Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki cadangan besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control (1990) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua.

Penurunan sedang kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan pada wanita sehat yang tidak mengalami defisiensi besi atau folat disebabkan oleh penambah volume plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa hemoglobin dan volume sel darah merah. Ketidakseimbangan antara kecepatan penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak pada trimester kedua. Istilah anemia fisiologis yang telah lama digunakan untuk menerangkan proses ini kurang tepat dan seyogyanya ditinggalkan. Pada kehamilan tahap selanjutnya, ekspansi plasma pada dasarnya berhenti sementara massa hemoglobin terus meningkat

Selama masa nifas, tanpa adanya kehilangan darah berlebihan, konsentrasi hemoglobin tidak banyak berbeda dibanding konsentrasi sebelum melahirkan. Setelah melahirkan, kadar hemoglobin biasanya berfluktuasi sedang disekitar kadar pra persalinan selama beberapa hari dan kemudian meningkat ke kadar yang lebih tinggi daripada kadar tidak hamil. Kecepatan dan besarnya peningkatan pada awal masa nifas ditentukan oleh jumlah hemoglobin yang bertambah selama kehamilan dan jumlah darah yang hilang saat pelahiran serta dimodifikasi oleh penurunan volume plasma selama masa nifas.

Walaupun sedikit lebih sering dijumpai pada wanita hamil dari kalangan kurang mampu, anemia tidak terbatas hanya pada mereka. Frekuensi anemia selama kehamilan sangat bervariasi, terutama bergantung pada apakah selama hamil wanita yang bersangkutan mendapat suplemen besi.

Etiologi
- Didapat :
1. Defisiensi besi
2. Kehilangan darah akut
3. Peradangan atau keganasan
4. Defisiensi vitamin B12
5. Hemolisis
6. Aplastik

- Herediter :
1. Talasemia
2. Hemoglobinopati sel sabit
3. Anemia hemolitik herediter

Pengaruh anemia terhadap kehamilan

Etiologi anemia merupakan hal penting dalam mengevaluasi efek anemia pada hasil kehamlian. Sebagai contoh, pada wanita dengan anemia sel sabit, hasil akhir pada ibu dan perinatal sangat berubah. Saat ini, belum ada bukti yang menyatakan bahwa efek samping berkaitan dengan anemia itu sendiri, tetapi lebih berhubungan dengan penyulit vascular akibat pembentukan sel sabit (sickling). Menurut Bennet dkk. (1998), berdasarkan National Hospital Dischange Data tahun 1991 – 1992, anemia sendiri jarang menjadi penyebab rawat inap terkait kehamilan.

Klebanoff dkk.(1991) meneliti hampir 27.000 wanita dan menemukan peningkatan ringan resiko kelahiran preterm pada anemia midtrimester. Lieberman dkk.(1987) mendapatkan keterkaitan positif antara hematokrit yang rendah dan kelahiran preterm pada wanita berkulit hitam, dan menyarankan bahwa anemia merupakan penanda difisiensi gizi. Anemia mungkin menyebabkan hambatan pertumbuhan janin. Menurut Barker dkk(1990), anemia dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular. Kadyrov dkk (1998) mengajukan bukti bahwa anemia ibu mempengaruhi vaskularisasi plasenta dengan mengubah angiogenesis pada awal kehamilan.
Menurut World Health Organization, anemia diperkirakan ikut berperan pada hampir 40% kematian ibu hamil. Di Negara-negara dunia ketiga (Viteri, 1994). Ironisnya, pada wanita yang sebenarnya sehat. Konsentrasi hemoglobin yang lebih tinggi cenderung menyebabkan gangguan hasil kehamilan. Pada kasus-kasus ini, ekspensi normal volume darah selama kehamilan tampaknya terganggu. Murphy dkk(1986) melaporkan temuan dari Cardiff Birth Survey terhadap lebih dari 54.000 kehamilan tunggal. Mereka menemukan peningkatan angka kematian perinatal pada konsentrasi hemoglobin yang tinggi. Secara spesifik, wanita yang konsentrasi hemoglobinnya lebih dari 13,2 g/dl pada gestasi 13 sampai 18 minggu memperlihatkan peningkatan angka kematian perinatal, bayi dengan berat lahir rendah, dan pelahiran premature, preeklamasia pada nulipara. Scanloon dkk.(2000) mempelajari hubungan antara hemoglobin Ibu dan bayi preterm atau dengan hambatan pertumbuhan pada173.031 kehamilan. Hemoglobin yang rendah (<> 3 SD) pada gestasi 12 sampai 18 minggu memperlihatkan peningkatan 1,3 sampai 1,8 kali lipat untuk hambatan pertumbuhan janin.

Klasifikasi
1.Anemia Defisiensi Besi
Penyebab tersering anemia selama kehamilan dan masa nifas adalah defisiensi besi dan kehilangan darah akut. Tidak jarang keduanya saling berkaitan erat, karena pengeluaran darah yang berlebihan disertai hilangnya besi hemoglobin dan terkurasnya simpanan besi pada suatu kehamilan dapat menjadi penyebab penting anemia defisiensi besi pada kehamilan berikutnya.
Defisiesnsi besi sering terjadi pada wanita dan Centers For Disease Control and Prevention (1989) memperkirakan bahwa sekitar 8 juta wanita Amerika usia subur mengalami defisiensi besi. Status gizi yang kurang sering berkaitan dengan anemia defisiensi besi (scholl, 1998). Pada gestasi biasa dengan satu janin, kebutuhan ibu akan besi yang dipicu oleh kehamilannya rata-rata mendekati 800 mg; sekitar 500 mg, bila tersedia, untuk ekspansi massa hemoglobin ibu sekitar 200 mg atau lebih keluar melalui usus, urin dan kulit. Jumlah total ini 1000 mg jelas melebihi cadangan besi pada sebagian besar wanita. Kecuali apabila perbedaan antara jumlah cadangan besi ibu dan kebutuhan besi selama kehamilan normal yang disebutkan diatas dikompensasi oleh penyerapan besi dari saluran cerna, akan terjadi anemia defisiensi besi.
Dengan meningkatnya volume darah yang relatif pesat selama trimester kedua, maka kekurangan besi sering bermanifestasi sebagai penurunan tajam konsentrasi hemoglobin. Walaupun pada trimester ketiga laju peningkatan volume darah tidak terlalu besar, kebutuhan akan besi tetap meningkat karena peningkatan massa hemoglobin ibu berlanjut dan banyak besi yang sekarang disalurkan kepada janin. Karena jumlah besi tidak jauh berbeda dari jumlah yang secara normal dialihkan, neonatus dari ibu dengan anemia berat tidak menderita anemia defisiensi besi.

Penegakan diagnosis
Evaluasi awal pada wanita hamil dengan anemia sedang adalah pengukuran hemoglobin, hemaokrit, dan indeks-indeks sel darah merah, pemeriksaan cermat terhadap sedian apus darah tepi; preparat sel sabit apabila wanita yang bersangkutan keturunan Afrika; dan pengukuran konsentrasi besi atau ferritin serum, atau keduanya. Gambaran morfologis klasik anemia defisiensi besi-hipokromia dan mikrositosis dan mikrositosis eritrosit tidak begitu menonjol pada wanita hamil dibandingkan pada wanita tidak hamil dengan kosentrasi hemogolobin yang sama. Anemia difesiensi besi tingkat sedang selama kehamilan contohnya, konsentrasi hemoglobin 9g/dl,biasanya tidak disertai perubahan morfologis eritrosit yang nyata. Namun, dengan derajat anemia defisiensi besi sebesar ini, kadar feritin serum lebih rendah daripada normal, dan pewarna besi pada sumsum tulang memberi hasil negatif. Kapasitas serum untuk mengikat besi (serum iron-binding capacity) meningkat, tetapi kapasitas ini saja tidak banyak bernilai diagnostic karena kapasitas ini juga meningkat pada kehamilan normal tanpa defisiensi besi. Hyperplasia normoblastik sedang pada sumsum tulang juga sama dengan yang terjadi pada kehamilan normal. Karena itu, anemia defisiensi besi pada kehamilan terutama merupakan konsekuensi dari ekspansi volume darah tanpa ekspansi normal massa hemogolobin ibu.
Kadar ferritin serum normalnya menurun selama kehamilan (Godenberg dkk, 1996). Kadar yang kurang dari 15 mg/l memastikan anemia difisiensi besi (centers for disease control and prevention, 1989). Namun, Van Den Broek dkk (1998) menyajikan bukti bahwa titik patokan (cutoff point) 30 mg/l memiliki nilai prediksi positif 85 persen dan nilai prediksi negatif 90%. Secara pragmatis, diagnosis defisiensi besi pada wanita hamil dengan anemia sedang biasanya bersifat presumtif dan terutama didasarkan pada ekslusi kausa anemia yang lain.
Apabila wanita hamil dengan anemia defisiensi besi tingkat sedang diberi terapi besi yang memadai, akan terdeteksi respons hematologist berupa peningkatan hitung retikulosit. Laju peningkatan konsentrasi hemgolobin atau hematokrit cukup bervariasi, tetapi biasanya lebih lambat dibanding pada wanita tidak hamil. Penyebabnya terutama berkaitan dengan perbedaan volume darah, dan pada separuh terakhir kehamilan, terjadi penambahan hemoglobin baru kedalam volume sirkulasi yang lebih besar.

Terapi
Tujuan terapi adalah koreksi defisit massa hemoglobin dan akhirnya pemulihan cadangan besi. Kedua tujuan ini dapat dicapai dengan senyawa besi sederhana ferro sulfat, fumarat, atau glukonat per oral yang mengandung dosis harian sekitar 200 mg besi elemental. Apabila wanita yang bersangkutan tidak dapat atau tidak mau mengkonsumsi preparat besi oral, ia diberi terapi parental (Andrews, 1999; Hallak dkk., 1997). Untuk mengganti simpanan besi, terapi oral harus dilanjutkan selama 3 bulan atau lebih setelah anemia teratasi. Transfuse sel darah merah atau darah lengkap jarang diindikasi untuk mengobati anemia defisiensi besi kecuali apabila juga terdapat hepovolemia akibat perdarahan atau harus dilakukan suatu tindakan bedah darurat pada wanita dengan anemia berat.

2. Anemia akibat perdarahan akut
Sering terjadi pada masa nifas. Solusio plasenta dan plasenta previa dapat menjadi sumber perdarahan serius dan anemia sebelum atau setelah pelahiran. Pada awal kehamilan, anemia akibat perdarahan sering terjadi pada kasus-kasus abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Perdarahan masih membutuhkan terapi segera untuk memulihkan dan mempertahankan perfusi di organ-organ vital walaupun jumlah darah yang diganti umumnya tidak mengatasi difisit hemoglobin akibat perdarahan secara tuntas, secara umum apabila hipovolemia yang berbahaya telah teratasi dan hemostasis tercapai, anemia yang tersisa seyogyanya diterapi dengan besi. Untuk wanita dengan anemia sedang yang hemoglobinnya lebih dari 7 g/dl, kondisinya stabil, tidak lagi menghadapi kemungkinan perdarahan serius, dapat berobat jalan tanpa memperlihatkan keluhan, dan tidak demam, terapi besi selama setidaknya 3 bulan merupakan terapi terbaik dibandingkan dengan transfusi darah.

3. Anemia pada penyakit kronik
Gejala-gejala tubuh lemah, penurunan berat badan, dan pucat sudah sejak jaman dulu dikenal sebagai cirri penyakit kronik. Berbagai penyakit terutama infeksi kronik dan neoplasma menyebabkan anemia derajat sedang dan kadang-kadang berat, biasanya dengan eritrosit yan sedikit hipokromik dan mikrositik. Dahulu, infeksi khususnya tuberculosis, endokarditis, atau esteomielitis sering menjadi penyebab, tetapi terapi antimikroba telah secara bermakna menurunkan insiden penyakit-penyakit tersebut. Saat ini, gagal ginjal kronik, kanker dan kemoterapi, infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV), dan peradangan kronik merupakan penyebab tersering anemia bentuk ini. Denominator bersama adalah meningkatkan produksi sitokin yang memperantarai respons imun atau peradangan (Means, 1999).
Pada pasien tidak hamil dengan penyakit peradangan kronik, konsentrasi hemoglobin jarang kurang dari 7 g/dl. Biasanya morfologi sel sumsum tulang tidak terlalu berubah. Konsentrasi besi serum menurun, dan kapasitas serum mengikat besi , walaupun lebih rendah daripada kehamilan normal , tidak jauh dibawah rentang normal tidak hamil. Kadar ferittin serum biasanya meningkat. Karena itu, walaupun mekanisnmenya sedikit berbeda satu sama lain, anemia-anemia ini sama-sama memperlihatkan perubahan fungsi retikuleondotelial, metabolisme besi, dan penurunan eritropoiesis dengan derajat dan kombinasi yang berbeda-beda (Andrews, 1999)
Selama kehamilan, sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Beberapa diantaranya adalah penyakit ginjal kronik, supurasi, penyakit peradangan usus (inflammatory bowel disease), lupus eritematosus sistemetik, infeksi granulomatosa, keganasan, dan arthritis remotoid. Anemia biasanya semakin berat seiring dengan meningkatnya volume plasma melebihi ekspansi massa sel darah merah. Wanita dengan pielonfritis akut berat sering mengalami anemia nyata. Hal ini tampaknya terjadi akibat meningkatnya destruksi eritosit dengan produksi eritropoietin normal (Cavenee dkk,1994)
Anemia pada penyakit kronik berespons terhadap pemberian eritropoietin rekombinan. Obat ini sudah berhasil digunakan untuk mengobati anemia pada insufisiensi ginjal kronik, peradangan kronik, dan keganasan (Goodnough dkk, 1997). Dari kajian mereka, Vora dan Gruslin (1998) hanya mendapatkan beberapa laporan tentang penggunaan eritropoietin ini pada kehamilan. Braga dkk. (1996) mengobati lima wanita dengan anemia berat akibat insufisiensi ginjal kronik. Walaupun massa sel darah merah biasanya meningkat dalam beberapa minggu, dapat timbul efek samping yang mengkhawatirkan yaitu hipertensi, yang biasanya sudah ada pada para wanita ini.Dalam studi oleh Braga dkk. (1996) yang disebutkan diatas, satu dari lima wanita yang diterai mengalami solusio plasenta.

4. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah kelompok penyakit darah yang ditandai oleh kelainan darah dan sumsum tulang akibat gangguan sintesis DNA.

a.Defisiensi Asam Folat.
Anemia megaloblastik yang dimulai selama kehamilan hampir selalu disebabkan oleh difisiensi asam folat, dan dahulu disebut sebagai anemia pernisiosa gravidarum. Anemia ini biasanya dijumpai pada wanita yang tidak mengokonsumsi sayuran berdaun hijau, polong-polongan, dan protein hewani. Wanita dengan anemia megaloblastik mungkin mengalami mual, muntah dan anoreksia selama kehamilan. Seiring dengan memburuknya difisiensi folat dan anemia, anoreksa semakin parah sehinggga difisiensi gizi juga semaki parah. Pada sebagian kasus, konsumsi etanol yang berlebihan menjadi penyebab atau ikut berperan dalam timbulnya anemia ini.
Pada wanita normal tidak hamil, kebutuhan asam folat harian adalah 50 sampai 100 mg/hari. Selama kehamilan, kebutuhan akan asam folat meningkat, asupan dianjurkan 400 mg/hari. Bukti biokimiawi yang paling awal ditemui adalah rendahnya aktivitas asam folat di dalam plasma. Tanda morfologis paling dini biasanya adalah hipersegmentasi neufrofil. Seiring dengan timbulnya anemia, eritosit yang baru terbentuk akan menjadi makrositik. Apabila sudah terdapat difisiensi besi, eritrosit makrositik tidak dapat terdeteksi dari pengukuran volume rata-rata sel darah merah (mean corpuscular volume). Namun, pada pemeriksaan yang teliti terhadap sediaan apus darah tapi biasanya ditemukan makrosit. Seiring dengan bertambah parahnya anemia, kadang-kadang muncul eritrosit berinti didarah tepi. Pada saat yang sama, pemeriksaan sumsum tulang akan mengungkapkan adanya eritorpoiesis megaloblastik. Anemia kemudian dapat bertambah parah, dan dapat juga terjadi trombositopenia, laukopenia atau keduanya.
Janin dan plasenta mengekstraksi folat dari sirkulasi ibu sedemikian efektifnya sehingga janin tidak mengalami anemia walaupun ibunya mengerita anemia berat akibat difisiensi folat. Pernah dilaporkan kasus-kasus dengan kadar hemoglobin neonatus mencapai 18 g/dl atau lebih, sedangkan kadar pada ibu serendah 3,6 g/dl (Pritchard dan Scott,1970).

Terapi
Asam folat, makanan bergizi, dan zat besi. Bahkan hanya 1 mg asam folat yang diberikan per oral setiap hari sudah dapat menimbulkan respons hematologis yang nyata. Dalam 4 sampai 7 hari setelah awal pengobatan, hitung retikulosit akan meningkat secara bermakna, sedangkan leucopenia dan trombositopenia akan segera terkoreksi. Kadang-kadang laju peningkatan konsentrasi hemoglobin atau hematokrit tidak terlalu besar, terutama apabila dibandingkan dengan retikulositosis yang biasanya mencolok segera setelah terapi dimulai.

Pencegahan
Makanan yang cukup mengandung asam folat mencegah anemia megaloblastik. Telah banyak perhatian dipusatkan pada peran defisiensi folat pada pembentukan defek tabung saraf (neural – tube defect) Temuan-temuan ini mendorong Centers for Disease control (1992) dan American college of obstetricians and Gymecologists (1996) mengeluarkan anjuran bahwa semua wanita usia subur mengkonsumsi paling sedikit 0,4 mg asam folat setiap hari. Tambahan asam folat diberikan pada keadaan-keadaan kebutuhan folat sangat meningkat, misalnya pada kehamilan multijanin atau anemia hemolitik, misalnya penyakit sel sabit. Indikasi lain adalah penyakit peradangan kulit. Terdapat bukti bahwa wanita yang pernah melahirkan janin dengan defek tabung saraf mengalami penurunan angka kekambuhan apabila mereka mendapat asam folat 4 mg perhari sebelum dan selama awal kehamilan.

b.Defisiensi Vitamin B12
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama kehamilan sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumapai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus.
Kadar vitamin B12 serum diukur dengan radio immunoassay. Selama kehamilan, kadar nonhamil karena berkurangnya konsentrasi protein pengangkut B12 transkobalamin (zamorano dkk, 1985). Wanita yang telah menjalani gastrektomi total harus diberi 1000 mg sianokobalamin (vitamin B12) intramuscular setiap bulan. Mereka yang menjalani gastrektomi parsial biasanya tidak memerlukan terapi ini, tetapi selama kehamilan kadar vitamin B12 perlu dipantau. Tidak ada alasan untuk menunda pemberian asam folat selama kehamilan hanya karena kekhawatiran bahwa akan terjadi gangguan integritas saraf pada wanita yang mungkin hamil dan secara bersamaan mengidap anemia pernisiosa Addisonian yang tidak terdeteksi (sehingga tidak diobati).

5.Anemia hemolitik didapat

a. Anemia Hemolitik Autoimun
Adalah penyakit yang jarang dan penyebab penyimpangan pembentukan antibodi tidak diketahui. Anemia yang disebabkan oleh faktor-faktor ini mungkin disebabkan oleh autoantibody aktif-hangat (80 sampai 90%), antibodi aktif – dingin, atau kombinasinya. Sindrom-sindrom ini juga dapat diklasifikasikan sebagai primer atau idiopatik, dan separuhnya adalah sekunder akibat suatu penyakit atau faktor lain. Contoh dari keadaan yang terakhir adalah limfoma dan leukemia, penyakit jaringan ikat, bebarapa infeksi, penyakit peradangan kronik atau akibat obat (provan dan Watherall, 2000). Pada sebagian kasus yang diklasifikasikan sebagai idiopatik, tindak lanjut yang cermat mungkin dapat mengungkapkan adanya suatu penyakit yang mendasari.
Pada anemia hemolitik autoimun, uji antiglobulin (Coombs) langsung dan tidak langsung biasanya positif. Hemolisis dan uji antiglobulin yang positif mungkin merupakan konsekuensi dari adanya antibodi lgM atau lgG antieriritrosit. Sferositosis dan retikulositosis merupakan gambaran khas pada sediaan apus darah tepi. Penyakit agglutinin dingin (cold agglutinin disease) dapat dipicu oleh Mycoplasma pneumoniae atau mononucleosis infeksiosa.
Wanita dengan anemia hemolitik autoimun kadang-kadang memperlihatkan percepatan hemolisis yang mencolok selama hamil. Glukokortikoid biasanya efektif seperti pada pasien tidak hamil, dan terapinya adalah dengan prednisone 1 mg/kg perhari atau ekivalennya. Terapi ini juga biasanya memperbaiki trombositopenia yang secara kebetulan terjadi bersamaan.
Antibodi lgM tidak melewati plasenta sehingga sel darah merah janin tidak terpengaruh; namun, antibodi lgG, khususnya subkelas lgG1 dan lgG3 menembus plasenta. Contoh paling umum efek samping pada janin akibat antibodi lgG yang dibentuk oleh ibu adalah isoimunisasi D maternal disertai penyakit hemolitik pada janin dan neonatus (bab 39, hal 1182). Transfuse sel darah merah untuk ibu hamil dengan penyakit hemolitik autiomun yang parah dipersulit oleh adanya antibodi antieritrosit yang beredar dalam darah. Penghangatan sel-sel donor hingga mencapai suhu tubuh akan mengurangi kerusakan sel-sel donor oleh agglutinin dingin.


b.Anemia Hemolitik Akibat Obat
Hemolisis akibat obat yang dijumpai selama kehamilan harus dibedakan dari bentuk-bentuk lain anemia hemolitik autoimun. Hemolosis yang terjadi biasanya ringan, mereda setelah obat dihentikan, dan dapat dicegah dengan menghindari obat tersebut. mekanisme kerjanya berbeda-beda, tetapi umumnya terjadi karena cedera imunologis sel darah merah yang perantarai oleh obat. Obat yang bekerja sebagai hapten beratinitas tinggi dengan suatu protein sel darah merah. Tempat melekatnya antibodi antiobat ini, contohnya antibodi lgM antipenisilin. Obat dapat bekerja sebagai hapten berafinitas rendah dan melekat keprotein membran sel.
Gejala yang timbul tergantung pada derajat hemolisis. Biasanya terjadi hemolisis kronik ringan sampai sedang, tetapi beberapa obat yang bekerja sebagai hapten berafinitas rendah dapat memicu hemolisis akut yang parah. Garratty dkk(1999) baru-baru ini melaporkan tujuh kasus anemia hemolitik berat akibat sofetetan profilaksis untuk tindakan obstetric. Uji antiglobulin langsung positif; dijumpai sfrositosis dan retikulositosis; dan mungkin terjadi trombotitopenia dan leucopenia. Pada sebagian besar kasus, penghentian obat penyebab mengakibatkan gejala-gejala lenyap. Efektivitas kortikosteriod masih dipertanyakan, dan transfusi diberikan hanya apabila anemianya parah. Hemolisis akibat obat terutama pada wanita Amerika – Afrika, jauh lebih sering berkaitan dengan defek enzim eritrosit congenital, misalnya defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenenese (G6PD) yang parah.

c.Anemia hemolitik akibat kehamilan
Anemia hemolitik yang tidak jelas sebabnya pada kehamilan, jarang dijumpai tetapi mungkin merupakan entitas tersendiri dan pada kelainan ini terjadi hemolisis berat yang dimulai pada awal kehamilan dan reda dalam beberapa bulan setelah melahirkan. Penyakit ini ditandai oleh tidak adanya bukti mekanisme imunologik atau defek intra atau ekstraeritrosit (Starksen dkk 1983). Karena janin bayi juga mungkin memperlihatkan hemolisis transient, diduga terdapat suatu kausa imunologis. Terapi kortiko steroid terhadap ibu biasanya efektif.

d.Hemoglobinuria Noktural Paroksismal
Walaupun sering dianggap sebagai suatu anemia hemolitik, ini adalah suatu gangguan sel induk hemopoetik yang ditandai oleh terbentuknya trobosit, granulosit, dan eritrosit yang cacat. Hemoglobinuria nocturnal paroksismal merupakan penyakit didapat dan timbul dari satu klon sel yang abnormal, kurang lebih seperti neoplasma (Packham, 1998). Salah satu gen terkait – x yang mengalami mutasi dan berperan dalam penyakit ini disebut PIG – A (fofatidilinositol glikan protein A). Protein-pretoin utama abnormal yang terbentuk di membrane ertrosiit dan granulosit menyebabkan sel-sel tersebut sangat rentan mengalami lisis oleh kemplemen (Provan dan Weatherall, 2000)
Gambaran klinisnya sama seperti Anemia hemolitik di dapat dengan awitan perlahan dan perjalan penyakit yang kronik. Hemoglobinuria terjadi dalam interval yang tidak teratur dan tidak selalu malam hari. Hemolisis dapat dipicu oleh transfusi, infeksi, atau pembedahan. Keparahan penyakit berkisar dari ringan sampai mematikan. Penyulit mencakup penyulit yang terjadi pada enemia kronik, dan diperparah oleh difisiensi besi akibat pengeluaran besi melalalui urin. Hampir 40 % pasien menderita trombosis vena, dan pernah dilaporkan sindrom Budd – Chiari yang disebabkan oleh trombosis vena hepatica. Kelainan ginjal dan hipertensi juga sering terjadi. Media angka harapan hidup setelah diagnosis adalah 10 tahun tetapi 15 persen pasien mengalami remisi jangka panjang secara spontan (Hillmen dkk, 1995). Belum ada terapi yang definitive, kecuali mungkin tranplantasi sumsum tulang.
Efek Pada Kehamilan yaitu dapat membahayakan kehamilan.. Greene dkk (1983) mengkaji 31 kasus pada kehamillan dan mendapatkan bahwa penyulit timbul pada lebih dari tiga perempat kasus. Angka kematian ibu adalah 10 persen dan hampir separoh wanita mengalami trombosis vena pascapartum, termasuk sindrom Budd – Chiari atau trombosis vena serebri. Solal – Celigny dkk (1987) melaporkan penyulit pada dua pertiga dari 38 kehamilan. Walaupun mereka tidak menjumpai kematian ibu, sering terjadi penyulit yang mengancam nyawa, terutama akibat hemolisis dan perdarahan.
e. Anemia didapat lainnya.
Seperti diuraikan oleh Pritchard dkk (1976), walaupun jarang, hemolisis fragmentasi (mikroangiopatik) yang nyata disertai hemoglinemia kadang-kadang menjadi penyulit preeklamsia-eklamsia. Hal ini sering disebut sabagai sindrom HELP (Hemolysis, Elevated Liver Ensym an Low Platelest) .Anemia hemolitik didapat yang paling fuminan pada kehamilan adalah yang disebabkan oleh eksotoksin clostridium perferingens atau streptokokus b - hemolitikus grup A. Akhirnya, endotoksin bakteri gram-negatif, atau lipopolisakarida – terutama pada pielonefritis akut berat – mungkin disertai oleh tanda-tanda hemolisis dan anemia ringan sampai sedang (Cox dkk, 1991)

6. Anemia hemolitik akibat defek eritrosit herediter

Gambaran eritrosit normal berbentuk seperti cakram bikonkaf, dan dibandignkan dengan volumenya, luas permukaan membrane lebih besar. Hal ini memungkinkan terjadinya berbagai deformasi siklik reversible sewaktu eritrosit menghadapi gaya regangan yang tercipta di arteri dan berjalan melalui celah-celah lien yang lebih kesil daripada diameter melintangnya. Sejumlah defisiensi enzim atau kelainan herediter membran sel darah merah menyebabkan destabilisasi lapis-ganda. Lemak berkurangnya luas permukaan, dan sel yang kurang lentur sehingga mengalami hemolisis menyebabkan anemia dengan derajat bervariansi. Beberapa diantara kelaian herediter membran yang mempercepatkan destruksi ini adalah srositosis. Heraditer, piropoikilositesis dan ovalositosis.

a.Sferositosis Herediter
Walaupun sebagian besar disebabkan oleh defisiensi spektrin dominant autosom dengan penetrasi bervariasi, kelainan dapat juga bersifat resesif autosom dan mungkin disebabkan oleh defisiensi ankirin atau protein atau kombinasinya (Rosse dan Burn, 1994). Penyakit-penyakit ini secara klinis ditandai oleh anemia dan ikterus dengan derajat bervariasi akibat hemolisis sel darah merah mikrosferositik. Pemastian diagnosis adalah dengan membuktikan adanya sferosit pada apus darah tepi, retikulositosis, dan peningkatan fragilitas osmotic.
Hemolisis dan anemia yang menyertainya bergantung pada keutuhan limpa, yang biasanya membesar. Splenektomi, walaupun tidak memperbaiki detak membrane, sferositosis, atau peningkatan fragilitas osmotik, dapat sangat mengurangi hemolosis, anemia berat akibat percepatan destruksi sel darah merah terjadi pada wanita yang limpanya masih berfungsi. Infeksi harus dideteksi dan diterapi dengan Negara.
Wanita dengan sferositosis herediter dapat menjalani kehamilan dengan baik. Dianjurkan pemberia suplemen asam folat. Maberry dkk, (1992) melaporkan di Parkland Hospital pada 50 kehamilan dari 23 wanita dengan sferositosis. Pada kehamilan tahap lanjut, hematoksit bervarisi dari 23 sampai 41 dan dihitung retikulosit berkisar dari 1 sampai 23 persen. Morbiditas ibu minimal. Terjadi delapan abortus, dan empat dari 42 bayi lahir preterm, tetapi tidak ada yang mengalami hambatan pertumbuhan. Infeksi pada empat wanita memperparah hemolisis dan tiga orang memerlukan transfuse. Hasil-hasil serupa dilaporkan oleh Pajor dkk (1993) pada 19 kehamilan dari delapan wanita Hongaria.
Neonatus yang mengidap sferositosis herediter mungkin mengalami hiperbilirubinemia dan anemia selama masa neonatus. Kami pernah menjumpai kadar hemoglobin yang turun sampai serendah 5 g/dl pada usia 5 minggu pada anak perempuan dari seorang wanita dengan sferositosis herediter.

b.Defisiensi Enzim Sel Darah Merah
Eritrosit memerlukan sejumlah enzim agar dapat menggunakan glukosa dalam keadaan anaerob. Defisiensi dari banyak, tetapi tentunya tidak semua enzim ini dapat menyebabkan anemia nonsferotik herediter. Sebagian besar diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, sejauh ini adalah defisiensi enzim yang paling sering dijumpai, adalah pengecualian karena diwariskan secara terkait-X. terdapat lebih dari 400 varian enzim ini (Beytler, 1991). Pada varian A, diwarisi oleh sekitar 2 persen wanita Amerika-Afrika, aktivitas enzim di eritrosit sangat jauh berkurang. Pada keadaan hemozigot atau defisien ini, kedua jromosom X terkena. Keadaan heterozigot, dengan sati kromosom X normal dan sati defisien, ditemukan pada 10 sampai 15 persen wanita Amerika-Afrika. Defek ini mungkin sedikit banyak memberi perlindungan terhadap infeksi malaria. Inaktivasi acak kromosom X menyebabkan terjadinya berbagai defisiensi aktivitas enzim. Infeksi atau beberapa obat oksidan dapat memicu hemolisis pada sebagian wanita heterozigot serta homozigot. Karena itu, anemia bersifat episodic, walaupun beberapa varian menyebabkan hemolisis nonsferositik kronik. Karena eritrosit muda mengandung aktivitas enzim yang lebih tinggi daripada eritrosit tua, tanpa adanya depresi sum-sum tulang, anemia akhirnya akan mengalami stabilisasi dan terkoreksi segera setelah obat penyebab dihentikan.
Defisiensi piruvat kinase, walaupun jarang, mungkin merupakan defisiensi enzim kedua tersering. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat resesif autosom. Ghidini dan Korker (1998) menjelaskan penanganan konservatif tanpa transfuse pada seorang wanita yang kada hemoglobinya mencapai nadir 6,8 g/dl pada pertengahan kehamilan. Gilsanz dkk, (1993) melaporkan hidrops fetalis rekuren pada janin yang homozigot. Pada kehamilan keempat, mereka mendiagnosis anemia janin dan tidak adanya defesiensi piruvat kinase dengan menggunakan fungsi tali pusat (funipuncture).
Terdapat sejumlah kelainan enzim lain yang sangat jarang ayng sebagian di antarannya dapat menyebabkan hemolisis, dan sebagian yang tidak. Walaupun derajat hemolisis kronik berbeda-beda, beberapa episode anemia berat pada semua defisiensi enzim ini dipicu oleh obat atau infeksi seperti dijelaskan sebalumnya. Selama kehamilan, pasien diberi besi dan asam folat. Obat oksigen dihindari, dan infeksi bakteri segera diatasi. Transfusi dengan sel darah merah diberikan hanya apabila hematoksit turun di bawah 20, kecuali apabila terdapat tanda-tanda gagal jantung atau hipoksia.

7. Anemia Aplastik dan Hipoplastik
Walaupun jarang dijumpai pada kehamilan, anemia aplastik adalah suatu penyulit yang parah. Diagnosis ditegakkan apabila dijumpai anemia, biasanya disertai trombositopenia, leucopenia, dan sumsum tulang yang sangat hiposeluler (Marsh dll, 1999). Pada sekitar sepertiga kasus, anemua dipicu oleh obat atau zat kimia lain, infeksi, radiasim, leukemia, dan gangguan imunologis. Anemia Fanconi dan sindrom Diamond-Blackfan merupakan penyakit herediter. Pada dua pertiga kasus lainnya, kausa tidak diketahui (Provan dan Weatherall, 2000). Kelainan fungsional mendasar tampaknya adalah penurunan mencolok sel indik yang terikat di sumsum tulang. Banyak bukti yang menyatakan bahwa penyakit ini diperantarai oleh proses imunologis (Young dan Maciejewski, 1997). Pada penyakit yang parah, yang didefinisikan sebagai hiposelularitas sumsum tulang yang kurang dari 25 persen, angka kelangsungan hidup 1 tahun hanya 20 persen.

Anemia Aplastik pada Kehamilan
Pada sebagian besar kasus, anemia aplastik dan kehamilan tampaknya terjadi bersamaan secara kebetulan. Karena sekitar sepertiga wanita membaik setelah terminasi kehamilan, dipostulasikan bahwa kehamilan-melalui satuan cara-memicu hipoplasia eritroid (Aitchison, 1989). Yang jelas, pada beberapa wanita, anemia hipoplastiknya pertama kali diidentifikasi saat hamil dan kemudian membaik atau bahkan sembuh saat kehamilan berakhir namun kambuh pada kehamilan berikutnya (Bourantas dkk, 1997, Snyder dkk, 1991).
Rijhsinghani dan Wiechert (1994) melaporkan dua kehamilan pada wanita dengan anemia Diamond-Blackfan. Aplasia sel darah merah murni yang jarang ini mungkin diwariskan secara resesif autosom. Sebagian pasien berespons terhadap terapi glukokortikoid, tetapi sebagian besar berganting pada transfuse. Pengalaman kami dengan dua wanita yang mempunyai penyakit ini serupa. Penyakit Gaucher adalah seuatu defisiensi encim lososom resesif autosom yang mengenai banyak system organ. Anemia dan trombositoipenia diperparah oleh kehamilan (Gronovsky-Grisaru dkk, 1995). Kemudian, kelompok peneliti Israel ini membuktikan bahwa terapi sulih enzim (algluserase memperbaiki hasil kehamilan pada enam wanita (Elstin dkk, 1997).
Dua risiko besar bagi wanita hamil dengan anemia aplastik adalah perdarahan dan infeksi (Ascarelli dkk, 1998). Pada kasus-kasus yang dilaporkan sejak tahun 1960, angka kematian selama atau setelah kehamilan adalah 50 persen, dan kematian hamper selalu disebabkan oleh perdarahan atau sepsis. Anemia Fanconi tampaknya memiliki prognosis yang lebih baik. Alter dkk (1991) mengkaji kepustakaan dan menyimpulkan bahwa wanita yang menjadi hamil mengalami perbaikan penyakit.

Penatalaksanaan
Belum ada satu pun obat ertropoietik yang pada anemia lain dapat menyebabkan remisi terbukti efektif. Terapi untuk anemia aplastik yang parah, yang kemungkinan besar efektif adalah transplantasi sumsum tulang atau sel induk. Bagi pasien yang penyakitnya tidak terlalu parah, atau mereka yang tidak mendapatkan donor, terapi terbaik yang ada adalah globulin antitimosit (Marsh dkk, 1999). Terapi imunosupresif dengan siklosporin memperbaiki respons terhadap globulin antitimosit. Kortikosteroid mungkin bermanfaat, demikian juga testosteran atau steroid androgenic lainnya dalam dosis besar. Wanita yang diterapi hampir pasti mengalami virilisasi. Janin perempuan dapat memeprlihatkan stigmata kelebihan androgen (pseudohermafroditisme), bergantung pada senyawa, dosis, dan kapasitas plasma melakukan aromatisasi terhadap androgen.
Pencarian yang kontinu terhadap infeksi harus dilanjutkan, dan apabila ditemukan harus segera diberikan terapi antimikroba spesifik. Transfuse garanulosit diberikan hanya apabila benar-benar terjadi infeksi. Transfuse sel darah merah diberikan untuk anemia simtomatik, dan kami secara rutin memberi transfuse untuk mempertahankan hematoksit pada kadar sekitar 20. Apabila hitung trombosit sangat rendah, mungkin diperlukan transfuse trombosit untuk mengendalikan perdarahan. Pelahiran per vaginam dilakukan untuk meminimalisasi insisi dan laserasi sehingga pengeluaran darah dapat dikurangi saat uterus dirangsang berkontraksi kuat setelah pelahiran. Bahkan apabila trombositopenianya berat, risiko perdarahan dapat diperkecil dengan pelahiran per vaginam yang dilakukan sedemikian sehingga laserasi dan episiotomi luas dapat dihindari.
Transplantasi Sumsum Tulang, memerlukan terapi imunosupresif selama beberapa bula setelah transplantasi. Riwayat transfuse darah, dan bahkan kehamilan, meningkatkan risiko penolakan tandur. Bagi pasien, yang telah bebas penyakit selama 2 tahun, transplantasi menyebabkan angka harapan hidup menjadi 90 persen (Deef dkk, 1998). Penyakit graft-versus-host akut dan kronik merupakan penyulit serius yang tersering dan menyebabkan dua pertiga kematian dalam dua tahun pertama (Socie dkk, 1999). Kelompok peneliti yang sama ini melaporkan bahwa separuh dari 95 pasien wanita hamil.

Sumber : dari sini

No comments:

Post a Comment